04 December 2018

Hasil Observasi sebagai Ph.D

Berikut adalah hal-hal cemen yang gw pelajari setelah gw menjadi anak Ph.D semenjak Agustus 2018 yang lalu. Lho kok dari Agustus 2018, bukannya ente sudah di Finland sejak Januari? Itu ada lagi ceritanya, huru-hara-rusuh yang diciptakan mantan spv gw bisa diceritakan kemudian hari :))). 

Kompetisi bak celana jins gw, ketat dan tidak seksi. Kalau bahasa kerennya, survival dunia riset dan akademik adalah publish or perish. Meski udah banyak yang berusaha supaya penilaian kesusksesan di dunia riset bukan hanya dari jumlah publikasi semata, tapi apalah daya kalau sistem masih begini. Bukan hal yang aneh makanya kalau peneliti atau dosen yang nggak produktif publikasi atau misalnya nggak dapat dana, ya bisa dihempas dari institusi yang bersangkutan. Habis gitu gw menerawang sendiri, kalau jadi peneliti atau dosen pegawai negeri di Indo tenang batiniyah juga. Eits, jangan langsung protes dan marah-marah sama gw kalau ada pembaca yang termasuk di atas, tapi kan emang tenang batiniyah karena nggak perlu deg-degan bakal dihempas dari institusi kalau produktivitas di ranah penelitian kurang membahana? Jangankan nggak meneliti, nggak ada predikat doktor dan nggak penah ngajar kuliah karena sibuk proyekan mulu walhasil 3 SKS artinya 3 pertemuan di kuliah pengganti kala weekend-pun nggak jadi masalah :)))) *pengalaman pribadi jaman masih bekelor dulu* Makanya nggak heran kalau pada akhirnya banyak peneliti yang berlomba-lomba dalam kebaikan menghasilkan publikasi, bodo amat yang penting bisa publikasi, syukur-syukur di jurnal yang rangkingnya tinggi, kalau nggak yowislah nrimo. Hal lain yang umum adalah banyak profesor yang levelnya udah tinggi kerjaannya lebih sering di level manajerial dan udah nggak begitu terlibat di penelitian, tapi namanya akan selalu nyantol di setiap publikasi yang dikeluarkan oleh institusi yang dia pimpin. Ini pengalaman pribadi juga pas di Singaparna, berhubung profesor seniornya sibuk berat, dese perannya sebagai principle investigator, kurang ngeh juga apa yang dilakukan di level riset, tapi pas ada publikasi, eh namanya dese bercokol, padahal yang kerja rodi ya peneliti yang di lab dan asisten profesor. 

Ranking jurnal yang utama. Bukan hanya jumlah publikasi yang jadi patokan kedigdayaan seorang peneliti, tapi juga jurnal di mana dia mempublikasikan hasil kerjanya. Impact factor suatu jurnalah yang jadi patokan. Semakin tinggi impact factornya, maka semakin elit-lah journal tersebut. Misalnya ya Nature, ini tuh udah yang paling hakiki. Peneliti yang udah canggih sih santai aja kalau habis publikasi di Nature, tapi para amateur rakyat jelata yang berhasil publikasi di Nature untuk pertama kalinya be lyke...  


Gw mah nggak ada cita-cita publikasi di Nature, sadar diri memanglah lebih penting dari sekadar percaya diri. Ngimpi buat publikasi di Nature adalah ekuivalen dengan ngimpi kawin sama Jake Gyllenhaal. Halu nggak ada obat.

Eniwei, balik lagi soal rangking jurnal. Rangking ini pun ada banyak versinya, misalnya Google Scholar dan Scopus punya rangking sendiri untuk jurnal. Nggak sampai di situ, tiap negara biasanya punya organisasi atau badan tersendiri yang tugasnya membuat rangking untuk jurnal, boleh jadi bikin rangking untuk seluruh jurnal dari berbagai bidang secara umum, atau bisa juga bikin rangking untuk bidang tertentu, Business and Management misalnya. Nggak mau ketinggalan, Finland pun punya rangking tersendiri untuk jurnal akademik di luar sana, JUFO. Seperti yang ditunjukkan dari websitenya, journal ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori: 3, 2, 1 dengan kategori 3 sebagai yang utama. Terus apa implikasinya sih dari keberadaan berbagai rangking jurnal dari institusi yang berbeda? Hal ini bisa bikin dilema, karena untuk kasus JUFO di Finland, sangat mungkin ditemukan jurnal yang di kancah internesyenel termasuk jurnal yang bagus eh masuk kategori 1 di JUFO, atau pun sebaliknya, jurnal yang di JUFO masuk level lumayan, di kancah internesyenel justru kurang diakui. Masalahnya gini ya, pemerintah Finland itu ngasih insentif terhadap universitas berdasarkan publikasi jurnal. Semakin banyak publikasi jurnal di JUFO kategori 3, semakin banyak moni yang didapat suatu uni dari pemerintah. Kadang agak mbingungi juga jadinya, haruskah ikut kategori rangking di kancah internasional atau ikut rangking JUFO. Kemarin-kemarin ada seorang dosen yang ngasih nasihat oke punya soal ini. Dese bilang, 'Lo sebagai anak Ph.D mah egois aja, pilih apa yang baik buat kamu. Kalau pun suatu jurnal masuk kategori 1 di JUFO tapi kamu tahu jurnal tersebut diakui di kalangan internasional, ya ikutin aja yang itu. Kamu yang lebih tahu bidang kamu, apalagi kalau di masa depan yang kamu incer karir akademik internasional. Finlan itu bukan center of universe, tenang aja.' Okelor kalau begitu.  

Pssstttt, gw kasih tahu hal lain ya, di sini, uni pun dapat uang dari pemerintah untuk setiap lulusan Ph.D dengan jumlah nominal lebih besar untuk Ph.D anak internasional. Ka-ching!!

Ph.D adalah jalan efektif untuk membuat kita merasa seperti Window Vista: gagal. Ph.D adalah jalan paling efektif untuk membuat kita merasa menjadi manusia paling pekok. Titik.

Ph.D bukan untuk semua orang. Bukan berarti seseorang harus super pinter untuk melangkah ke jenjang Ph.D *tapi kalau memang pekok ga ada obat, ya jangan juga sih * Gw ada temen yang udah setahun Ph.D lalu akhirnya keluar dengan alasan, "Ph.D bukan buat gw deh." Sekarang dese kerja di perusahaan multinasional dan hepi dengan yang dia kerjain. Pernyataan bahwa Ph.D bukan untuk semua orang itu ibarat bahwa sekolah kedokteran itu bukan untuk semua orang ataupun sekolah enjineering atau hukum. Meski nggak sesederhana itu juga sih. Saat profesor merekrut Ph.D, jarang yang jujur ngasih tahu apa yang bakal dihadapi nantinya. Ph.D itu ibaratnya ada di level paling bawah dari rantai makanan. Buruh murah yang biasanya dipekerjakan untuk berbagai hal. Kalau untung dapat pembimbing ya baleg ya syukur, nggak jarang jura yang ditelantarkan. Gw kurang tahu dengan berbagai skema Ph.D di seluruh dunia yang fana ini *ya kali Ning, sape lo* tapi dari hasil ngobrol yang nggak seberapa ini, Ph.D di Swedia strukturnya bagus. Gw cuma ngobrol sama anak-anak Chlamers sih, tapi mungkin skemanya kurang lebih akan sama di universitas lain di Swedia. Intinya, profesor merekrut Ph.D kalau fundingnya jelas sampai akhir, projek mana dan siapa yang ditempatkan, strukturnya sistematis, tanggung jawab dan ekspektasi dijelaskan dari awal. Meski demikian, kisah sukses dari para Ph.D yang awalnya cuma iseng-iseng karena nggak tahu mau ngapain juga banyak. Mungkin mereka yang iseng-iseng ini emang karakternya pas untuk jadi anak Ph.D, punya resilience tipe tertentu yang dibutuhkan supaya dalam perjalanan Ph.D ga jadi gila.

No comments:

Post a Comment