28 December 2016

Gw dan Nonton

Ini cerita mengenai hubungan yang terbina antara gw dan aktivitas nonton.

Ok, pertama-tama, gw bukanlah orang yang hobi nonton film. Referensi gw soal film layaknya wakil rakyat yang menghadiri rapat alias sedikit banget. Ditambah kemampuan gw dalam menilai film ga ubahnya kemampuan gw dalam menilai makanan, paling gw jawab, 'Oke lah,' dan kalau engga ancur banget ya gw nggak komplain *dadah-dadah sama Sharknado* *tapi kayaknya Sharknado emang segaja dibikin ancur ya filmnya?* . Pada dasarnya gw menikmati ketika gw nonton film, yang bikin gw nggak (terlalu) hobi buat nonton, terutama di bioskop, adalah duit yang musti dikeluarkan yang lebih baik dibeliin ciki tingginya komitmen yang dibutuhkan. Duileee, nonton ke bioskop aja udah dianggap aktivitas dengan komitmen tinggi, gimana gw mau komitmen membina keluarga samara sama Michael Fassbender kalau begini? hah? hah? hah?

Komitmen tinggi karena dalam 2-3 jam gw harus fokus nonton film tersebut belum lagi waktu yang harus diluangkan bukan sepanjang durasi film tersebut, karena ada perjalanan dari rumah ke bioskop, belum ngantri, dan sebagainya. Banyak banget nggak tuh komitment waktu yang diluangkan? Belum lagi kalau di tengah film gw nggak ngeh sam jalan ceritanya, apa bisa direwind? Ya nggak lah. Bisa juga merasa ngantuk, bosan, capek atau udah nggak fokus, gw nggak bisa gitu aja pergi dari bioskop, dadah-dadah sambil bilang, 'Besok sambung lagi ya, tadi berhenti di menit ke 70.'  Yha?! Hal lain yang bikin gw agak inersia kalau mau nonton adalah bertahan di menit-menit awal. Ya namanya juga menit-menit awal, biasanya cerita belum terbangun, belum intens, silet atau insert (lo kira Saving Private Ryan, 20 menit pertama prajurit yang mati udah banyak, belum lagi usus terburai ke mana-mana) dan rasanya pengen udahan aja karena  belum-belum udah bosen dan nggak fokus. 

Hal lain yang bikin gw kadang agak males untuk nonton adalah kemampuan otak yang kurang mumpuni dalam memproses jalan cerita. Itu dia alasan kenapa gw nggak anti sama spoilers. Banyak orang yang sengaja bikin orang lain kesal dengan cara menceritakan spoiler suatu film. Nah, orang-orang sedemikian justru ujug-ujungnya kesal sama gw karena ketika mereka mencoba menceritakan spoiler, gw malah semangat buat minta diceritain dan nggak keberatan sama sekali, hahahahahahaha. Kemampuan otak yang sejumput inilah yang akhirnya bikin gw ujung-ujungnya nonton komedi romantis maning, soalnya jalan ceritanya gampang, biasanya ketebak, dan ujung-ujungnya hepi ending. Ibaratnya, gw nonton sambil tidur pun tetap akan bisa paham jalan ceritanya. Makanya ketika gw memutuskan nonton film, biasanya gw cek wikipedia atau web lain di mana sinopsis bisa didapatkan. Meski udah cek sinopsis cerita, setelah nonton, gw biasanya baca lagi sinopsisnya buat nyocokin cerita dan konfirmasi detail cerita yang nggak ketangkep. Itu dia alasan kenapa gw sampai sekarang masih ogah-ogahan buat nonton film-filnya Nolan meski orang-orang bersabda, 'Terserah lo sukanya film apa, tapi kalau film-nya Nolan tuh wajib!!!!' Tanggapan gw:


Tunggu nanti ketika gw udah agak mencerdas, akan aku rambah Memento, Interstellar dan Inception.

Alasan itulah yang bikin gw lebih suka nonton di rumah karena ketika nggak paham, ya tinggal direwind atau dipause sambil cari sinopsisnya. Ketika bosen, ya gw berhenti nonton dan sambung lagi kapan-kapan.

Ada satu lagi alasan yang kadang bikin gw gentar untuk nonton film. Nonton film secara umum, bukan cuma nonton film di bioskop, yaitu adegannya. Bukan kayak adegan di Shame ya, itu sih justru dinantikan biasa aja. Adegan yang bikin gw kesel adalah adegan-adegan nggilani. Gimana ya mendefinisikan nggilani ini? yang pasti bukan adegan perang, tembak-tembakan, bom, RPG, granat, badan meledak dan usus terburai. Nonton adegan kayak gitu gw cenderung biasa aja. Adegan nggilani versi gw salah satunya yang gw liat di film Hunger. Di film Hunger (yang mana cuma gw tonton separo dan males buat nerusin), tahanan ini disiksa oleh sipir, ya namanya juga disiksa, mulai dari ditonjok, dijambak, disayat, digebuk pake tongkat, dipukul pake riffle. Gw kan pusing liat orang disiksa. Karena disiksa itu pelan-pelan, darah ngalir di sana-sini sedikit demi sedikit tapi konsisten, dan menyakitkan, belum satu scene lumayan fokus dengan adegan tersebut. Selain itu, di film Hunger, para tahanan melakukan aksi smearing their poop di tembok penjara, kan malesin shayy!! Sedangkan kelahi di film perang itu biasanya intens, gw sibuk mencerna cerita dan ngikutin scene tersebut. Satu scene biasanya cepet dan rame. Satu humvee mbleduk, sebagian mati, sebagian cedera parah, ada parjurit sibuk nembak musuh, sibuk cari bantuan, teriak lari sana-sini. Sibuk dan cepet. Belum korban yang kena biasanya proses matinya cepet, biarpun anggota badan putus kelempar ke mana-mana, tapi semuanya cepet, nggak tersiksa. Makanya gw kesal kalau ada adegan di mana prajurit luka parah, tersiksa, dan tidak dalam kondisi pingsan, siksaan batiniyah bagi penonton.

Contoh lainnya misalnya The Revenant. Pas mereka kelahi sama orang Ree, ada yang kepanah dan ketembak, tapi ya udah, habis itu langsung isdet. Gw sebagai penonton kan jadi nggak mengalami siksaan batiniyah. Lain halnya ketika DiCaprio diserang beruang atau ketika dia (dan orang Indian lainnya) bertahan hidup makan hewan mentah, itu agak nggilani buat gw. Plus di akhir film ketika DiCaprio dan Hardy kelahi, mereka kelahi secara konvensional, satu pegang pisau satu lagi pegang kapak, memang nggak super mengerikan, tapi jatuhnya bukan kelahi pake pistol lalu 'dor', salah satu orang mati, Ini kelahi beneran, tujes-tujesan di sana-sini, saling nyiksa buat ngebunuh satu sama lain. Batin gw kan lumayan terombang-ambing jadinya, hih!!

Meski sampai sekarang nonton film bukan hal yang natural untuk gw lakukan, tapi adalah beberapa film (yang katanya sih) bagus, yang gw tonton, ya biar agak update dikitlah.

No comments:

Post a Comment