24 August 2016

Donor darah (di Singapura)

Yak, jadi setelah dari dulu niat pengen donor nggak jadi-jadi, akhirnya kejadian juga. Awalnya ragu, karena gw kira hanya PR atau penduduk sini yang boleh donor, ternyata nggak. Pertama kali donor di kampus dah lama juga sih, Maret kemaren karena sedang ada acara donor darah, yaudahlah gw mampir, secara effortnya jadi minim karena gw nggak perlu ngesot ke blood bank. Gw udah yakin nih kalau syarat donor di Indonesia dan di Singapura pasti plek-plek sama (emang di barat, berat minimal harus 50 kg, hih!!), eh ternyata enggak juga.

Setiap gw donor di Indo, hal yang paling bikin gw deg-degan adalah cek haemoglobin (Hb) dan tekanan darah karena dua hal ini yang kadang bikin gw ditolak buat donor dan disuruh balik lagi beberapa hari kemudian. Pas gw donor di Singapura untuk pertama kali, tensi gw ternyata rendah *kayak biasa* lalu terjadi percakapan:

Gw: ‘Rendah ya? Ga boleh donor dong?’
Uncle tensi (UT) : ‘Kata siapa nggak boleh? Boleh kok, cek dulu Hb, kalau oke kamu bisa donor.’
Gw: ‘Tekanan darah di bawah normal masih boleh?’
UT: ‘Sini Saya kasih tau, kalau kamu minum air yang banyak, temporarily tekanan darah kamu akan naik secara artifisial. Jadi kalau sekarang ini saya minta Kamu minum yang banyak, tekanan darah kamu akan naik, jadi ya kita nggak pake syarat tekanan darah.’

Oke, pengetahuan baru.

Lalu gw iseng membandingkan syarat donor darah di Singapura dan Indonesia (PMI Bandung) yang emang ternyata beda di poin tekanan darah. Secara umum sama ya, sehat, umur tertentu, Hb di level tertentu, ada berat minimal. Nah, tapi Singapura ini emang nggak menyaratkan tekanan darah minimal.

Selain syarat, masih ada beberapa perbedaan antara proses donor yang biasa dilakukan di Indo dan Singapura. Misalnya sistem booking dan form isian. Sistem booking ini sih yang jadi favorit gw karena membuat setiap pendonor ga perlu nunggu lama di blood bank hanya untuk ngantri giliran. Bikin akun di bloodbank (via Singpass misalnya), pilih hari dan jam, lalu isi form. Nah form isian ini pun beda dengan yang di Indo, bedanya apa? Lebih ribet. Pertanyaan lebih banyak dan sifatnya lebih spesifik. Misalnya soal penyebaran HIV. Pertanyaannya banyak dan lumayan detail, misalnya: Apakah kamu pernah berhubungan seks dan dibayar? Pernah berhubungan seks dengan orang yang terindikasi HIV? Pernah berhubungan seks dengan laki-laki yang pernah berhubungan seks dengan laki-laki lain? Selain set pertanyaan yang ribet dan lumayan banyak, sekarang ini ada pertanyaan tambahan akibat penyebaran virus Zika. Jadi gw rasa emang lebih ketat.

Hal lain adalah penggunaan pain killer. Sebelum proses donor dilakukan, petugas blood bank akan menyuntikkan pain killer ke bagian pembuluh yang akan diambil darahnya. Awalnya gw nggak paham, apaan ini kok gw disuntik, pas gw tanya, petugasnya jawab, ‘Ini pain killer. Kalau besok-besok pas donor kamu nggak mau pake, bilang aja.’ Ya gimana, di Indo biasa main tujes langsung pake jarum donor, lha ini dikasi pain killer dulu, kan rasanya jaidi kurang matcho dan gahar gitu ya *pret* Etapi beneran ngaruh lho, karena pas jarum donor ditusukkan, ga berasa apa-apa sama sekali. Dan setelah donor, perban yang dipasang pun lebih ribet, kenceng dan nggak boleh dilepas selama 4 jam...bbbzzztztttt, padahal sini udah biasa pake tensoplas thok tiap abis donor. Satu lagi, di sini selalu diwanti-wanti kalau setelah donor, kita -para pendonor-, merasa kalau darah kita baiknya nggak didonorkan untuk orang, kita bisa langsung telpon blood bank dan nggak perlu kasih alasan kenapa darah kita jangan didonorkan. Fair ya.

Kali kedua gw donor, gw bikin janji secara online. Setelah semua proses donor kelar, esok harinya tiba-tiba gw dapet SMS konfirmasi bahwa gw udah booking janji untuk tanggal donor berikutnya. Lha, perasaan gw nggak bikin janji apa-apa, ini sistemnya kok inisiatif tinggi, swabooking. Pret.

Emang sih, nggak adil kalau mau membandingkan Singapura dan Indonesia, toh di Indo pun kalau gw perhatikan kemajuannya udah banyak kok. Kalau ngeliat PMI Bandung sekarang sama beberapa tahun ke belakang, secara infrastruktur udah banyak banget perubahannya jadi lebih baik. Untuk penggunaan pain kiler atau perban maha ribet mungkin nggak urgent juga, lagi pula investasi untuk menyediakan pain killer pasti nggak sedikit, tapi booking sistem ini kalau bisa diterapkan oke banget loh. Booking system dan juga centralized database tuh cita-cita banget deh. Pendonor akan lebih tertib dan terdistribusi. Pendonor jadi nggak perlu nunggu lama karena ngantri dan petugas PMI pun pasti kerjanya lebih enak karena tiap jam akan selalu melayani pendonor dalam jumlah yang tetap. Tapi lagi-lagi ya gw paham, infrastruktur untuk bikin booking system yang rapi pasti nggak gampang, apalagi kalau mau mencakup semua tempat di Indo di mana akses internet juga masih suka mpot-mpotan. Kalau ada booking system dan centralized database, udah nggak perlu kartu lagi, mau donor di mana pun akan gampang karena track record dan database  si pendonor pasti bisa ditemukan di dalam sistem. Terus kalau kondisi di mana satu golongan darah diperlukan, pencarian akan lebih mudah. Cek database lalu hubungi langsung orangnya. Selama ini sering banget liat berita di mana ada orang yang sedang butuh darah tertentu dan biasanya beritanya disebarkan dari satu orang ke orang lainnya.

Ngomong-ngomong soal donor darah, baru beberapa hari kemarin gw baca Reader’s Digest (majalah kegemaran dari jaman kuliah dulu...ahahahahaha). Di sana ada artikel tentang donor darah dan tipe darah yang langka. Bacanya sampe terharu sendiri, karena ternyata orang baik masih banyak ya, altruism tuh emang secara alami ada di setiap orang. Salah satu cerita yang gw baca adalah tentang seorang pria asal Switzerland dengan kondisi darah yang langka, bukan cuma rhesus negatif, tapi null-rhesus. Mungkin jumlah orang dengan kondisi darah seperti ini cuma ada beberapa di dunia. Saking langkanya tipe darahnya, meski ga ada rekues akan kebutuhan tipe darah tersebut, secara rutin dia harus mendonorkan darahnya dua kali setahun (iya, cuma dua kali, ga boleh empat kali  karena dia rentan anemia) untuk jaga-jaga. Jaga-jaga kalau ada orang di belahan dunia lain membutuhkan atau bahkan dia sendiri yang membutuhkan transfusi darah. Setiap dua kali dalam setahun, dia akan ambil day-off dari pekerjaan dan nyetir ke Prancis untuk donor darah. Iya, sampai ke Prancis karena Switzerland nggak punya frozen blood bank dan kalau dia donor di negaranya lalu darahnya dikirim, akan banyak masalah birokrasi yang timbul. Akhirnya pilihan dia hanya Prancis atau Belanda, maka pergilah dia ke Prancis.        

Ada juga kasus perempuan asal Afrika yang perlu dioperasi tapi kondisi darahnya cukup langka. Akhirnya darah yang dibutuhkan harus dikirim dari Inggris. Dengan centralized database itulah semua jadi mudah, bloodbank punya data dan tinggal angkat telpon untuk minta kesediaan si pendonor. Pendonor juga kalau sehat pasti langsung setuju karena ngerti betapa berharganya tipe darah mereka untuk nyelamatin orang lain. Kayaknya nggak ada cerita mereka nanya, ‘Siapa yang butuh darah Saya? Orang mana? Bukan orang Inggris? Orang kulit berwarna ya? Ih, nggak  mau ah cusss!!’ They gladly give their blood :’)

Makanya, untuk yang eligible, ayo mari donor  *tetep ya ujung-ujungnya ngajak donor*. Donor darah itu salah satu bentuk memberi yang nggak membuat kita ngerasa kehilangan. Misalnya ya, kita ngasih donasi uang, kadang masih suka terbersit, ‘Hmmmm, itu uangnya sebenernya bisa sih dibeliin persediaan cireng seumur hidup.’ Tapi kalau yang didonasikan darah, nggak akan kepikiran kayak gitu, bahkan jatuhnya malah ngerasa bikin sehat diri sendiri karena regenerasi darah di dalam tubuh, belum lagi kalau tiba-tiba liat  poster ‘Donate Blood Save Life,’ hati langsung jadi hangat.  

Jadi, kapan mau donor? :)

No comments:

Post a Comment