Seperti yang udah gw bilang sebelumnya, gw akhirnya jump into bandwagon alias tuturut munding untuk bikin podkes. Btw, kenapa sih ada istilah tuturut munding? Itu istilah dari Bahasa Sunda yang artinya literally 'mengikuti kerbau.' Ngapain coba kita ngikutin kebau???? Anyway, podkes ini diinisiasi oleh Sakana a.k.a partner pas Wageningen challenge dulu. Setelah channel Youtube challenge kami mengalami kemunduran *kek pernah maju aja?*, akhirnya banting setir ke arah podcast.
Dekil banget gw dulu, belum mengenal skinker dan ga mampu beli skinker.
Berhubung Sakana yang akan edit podkesnya, ya gw sih ikut-ikut aja, kan gw cuma modal congor sama otak yang isinya cuma dua sel...ehehehehehe. Di podkes ini kami membahas hal-hal yang berkenaan dengan sekolah di luar nagrek. Bukan yang elaborate-berat-fafiwuwasweswos, tapi lebih ke obrolan ringan berdasarkan pengalaman kami. Podkesnya bisa dicek di Youtube Kolomikan. Podkesnya juga nggak lama-lama, bukan yang bisa sampai 3 jam bak Andrew Huberman *ya hellowwww sadar diri bandingin diri sama Andrew Huberman* *btw, gw juga ga dengerin-dengerin amat podkesnya Huberman, panjang banget kek sambutan pejabat, males.*
Episode pertama soal besiswa yang kami pakai untuk kuliah S3, karena kuliah S3 sumbernya bisa dari mana-mana, ga melulu LPDP.
Di podkes ini, gw juga ngomongin huru-hara yang terjadi dengan PhD yang mana spv pertama (orang yang rekrut gw dan beberapa kolega lainnya) gw resign setelah 2 minggu gw nyampe sini. Sedikit cerita tentang dese sempet gw tulis di post sebelumnya. Pada saat itu masih awal 2019, sehingga Jajang belum resign. Siapa Jajang? Dengerin dong podkesnya *ciehhhhh*
Oke, gw ceritain aja. Jadi, spv_1 gw resign setelah 2 minggu gw sampe di Finland. Anak PhD yang direkrut bareng gw, G, gercep cari spv baru namanya Jajang. Tahun 2020 Jajang resign dan G ditelantarkan untuk kedua kali. Twist-nya apa? Gw hampir jadi anak asuhnya Jajang juga. Karena G dapet Jajang duluan sebagai spv, dia meng-encourage untuk, 'Dahlah, lo sama Jajang aja, lo ga tau siapa-siapa juga kan di mari.' Gw ngobrol sama Jajang, dia setuju untuk jadi supervisor gw. Ketika gw daftar PhD dan ngisi form , di situ ada pertayaan apakah gw sudah pernah komunikasi denga profesor di uni yang dituju, kalau udah sengan siapa. Gw isilah nama Jajang di situ. Ketika gw dapet acceptance letter, Jajang 'cuma' jadi spv dua, dan gw dapet spv gw yang sekarang, PH, sebagai pembimbing pertama.
Pada saat itu gw bingung, gw ga kenal PH sama sekali. It turned out to be the best. Nggak kebayang kalau gw jadi anak buahnya Jajang. Gw bahkan ga tau gimana cara komunikasi sama Jajang karena gw ngerasa ada gap jauh banget. Pas awal, gw pernah nulis book chapter bareng dese, tentunya gw yang melakukan semua heavy lifting. Pas draftnya udah jadi gw kirim Jajang buat minta komen, komennya cuma, 'Good, kirim aja ke editor.' Gimana ceritanya kerjaan anak yang baru mulai PhD udah 'good' dan kaga ada feedback yang berarti?!?!?!? Hihhhhhhh.
Sedangkan sama PH, everything runs rather smoothly, semuanya click dari awal, kerjanya sat-set. The dynamic and the working style were established quickly from the very get-go. Satu lagi yang terkesan trivial tapi gw apresiasi adalah dia paham humor dan personaliti gw. Dia tahu tiap anak itu beda dan dia bisa cater sesuai dengan kemampuan dan personaliti kami. Gw ngerasa sebagai kolega yg equal tapi di sisi lain gw ngerasa aman dan nggak takut untuk keliatan blo'on di depan dese. Anyway, I was this close 🤏 to be Jajang's student, tapi kalau ga terjadi ya tetep aja nggak terjadi ygy. Happenstance pisan.
No comments:
Post a Comment