19 September 2016

Preferensi Ras

'Do you know, you are my first Malay-Muslim friend.'

Reaksi gw ketika temen gw bilang begitu adalah....


Lanjut dengan, 'Temen Malay-Muslim pertama? Bok, ini kan Singapore, lo bukan lagi di Amerika atau di negeri antah berantah, berapa banyak coba Malay-Muslim di mari? banyaaaakkkkk.'

Oke, sebelum pemirsa protes kenapa gw menerima dengan legowo sebutan 'Malay', ya memang begitu adanya di sini, orang Indo (sawo matang yang muslim-muslim begini) ya masuk kategori ras Malay.  

Dese jawab, 'Ya gimana, gw selalu sekolah di sekolah Cina, dari kecil sampai SMA. Sekolah Cina itu persyaratan siswanya ya harus bisa Bahasa Cina, walhasil temen-temen gw Cina semua, kecuali satu orang. Ini anomali, di SMA, gw punya satu temen orang India, gw juga bingung gimana bisa dia fasih berbahasa Cina.'

Gw tetep ga mau kalah, 'Okelah selama ini lo selalu sekolah di sekolah Cina, tapi kampus lo di mana? di NUS, NUS kan bukan kampus Cina. Masa satu jurusan isinya orang Cina semua.'

Habis itu dia ga bisa jawab dan cuma menggumam, 'Iya juga ya, kenapa ya?'

Yameneketehe.

Dominasi ras di Singapura itu kan Cina, India dan Malay, selama ini sih memang adem-adem aja, ga ada gejolak kawula muda yang menggelegar, tapi tetep preferensi rasial itu terpampang nyata. Selama ini gw ada di lingkungan kampus, jadi gw lumayan sering merhatiin dedek-dedek gemets mahasiswa-mahasiswa NTU. Sepengelihatan gw, memang sih, preferensi rasial itu cukup tinggi. Kalau liat geng-gong orang lokal, biasanya isnya Cina semua, India semua atau Malay semua. Biasanya bukan berarti semuanya ya, catet. Gw juga sering merhatiin orang-orang yang lagi olahraga di fasilitas umum apartemen. Ada hari di mana golongan Cina main voli, ada hari lain di mana golongan India main bulu tangkis. Lagi-lagi hampir semuanya satu ras. Kadang gw liat ada anomali, misalnya 1 orang Malay di antara golongan Cina atau satu satu orang Cina nyempil di antara genggong India. 

Gw pikir ini cuma perasaan gw aja atau gw mungkin kurang membuka mata lebar-lebar, tapi ternyata enggak juga sih, karena beberapa waktu silam gw baru baca berita di Strait Times mengenai preferensi rasial, seperti yang dijelaskan di sini, sini, sini dan juga sini. Lumayan juga ya, sampai ke level milih guru les-pun pengennya ya satu ras :)))). Kalau pernikahan, okelah gw masih rada paham *gimana gw bisa melaju sama brondong Cina, aral melintang pasti terbentang dari keluarganya, pfftttt* 

Begitu juga dengan temen gw yang ini. Kalau dia lagi nunjukin video nari (dese penari, penari proper, beneran. Kalau gw diliatin video nari dia, gw udah kayak emak-emak rebek liat anaknya nari ,'Aduh, itu tangannya nggak apa-apa? Leher lo ga sakit apa? Gerakan begitu ga keseleo?') atau genggong temen-temennya, ya isinya orang-orang cipit semua. Gw pernah nanya, apa dia paham Bahasa Melayu, ya kan bahasa tersebut digunakan sebagai komando ketika di militer, dan di sini kan wajib militer selama 2 tahun (2 tahun kan ya?) lalu lanjut reservist sampai umur 40 (kalau ga salah). Jawaban dia, 'Nggak bisa, cuma tahu istilah di militer, sedap dan selamat hari raya. Saya ga punya banyak temen Malay, ada sih, tapi dikit doang, but they're nice people though, just like you.'  

Nah kan. Seadem-ademnya tempat, semulkultural-multikulturalnya tempat, tetep lah prefernsi ras bakal selalu ada. Merasa diperlakukan nggak adil karena -misalnya- bosnya bukan dari ras yang sama juga pasti terjadi. Itu baru di area perbedaan-rasial-dari-sesama-orang-Singaparna, belum sama mereka yang Cina, Malay, India tapi pendatang. 

Ehe.

Tapi sejauh ini sih kehidupan baik-baik aja, ya gw anggap baik-baik aja. Ya namanya juga idup, yekan?

No comments:

Post a Comment