Another nice book worth to spread. At least menurut gw.
Nggak sengaja liat buku ini pas lagi di toko buku. Kok dari judulnya kayaknya menarik *balik bukunya lihat cover belakang*, kok penulisnya ucu anet, gemet. Langsung beli? Nggak dong, semenjak Hancong ngasih tahu tentang bookdepository, ik beli buku di situ. Gratis ongkir ke seluruh dunia, hyuk.
Bukunya berjudul The Happy City ditulis oleh Charles Montgomery. Dese udah lumayan tuir tapi masih gagah aja *salah pokus* mana kalau lagi jadi pembicara, cara ngomongnya enak abis, hmmmm. Eniwei, jadi, dua hal yang terlintas di pikiran gw ketika baca buku ini adalah: Jakarta’s neighboring area (esp. BSD ya bok, secara si aa pernah tinggal di sana dan gw lumayan tahulah kejinya BSD bagi orang yang cinta jalan kaki dan ga bisa berkendara seperti gw) dan Kang Emil.
Dari taglinenya yang berbunyi ‘Transforming urban lives through urban design,’ kebaca lah ini buku ngomongin apa. Tentang bagaimana desain suatu kota mempengaruhi kualitas hidup dan perilaku penghuninya. Meskipun pada akhirnya terbentuk hubungan sebab akibat antara bagaimana desain mempengaruhi perilaku penduduknya dan bagaimana perilaku penduduknya pun bisa membentuk kota tersebut.
Awalnya gw mau nyeritain buku ini, udah nulis tentang sprawl city (dan dikaitkan dengan BSD) dan juga tentang daily dose of greenery yang dikaitkan dengan Kang Emil, terus gw berhenti. Puyeng neyk. Itu aja udah kebanyakan, nggak tahu harus ngompose tulisannya kayak apa *aku memang payah*
Banyak banget hal baru yang gw dapet dari buku ini. Cerita tentang kacaunya sampai nyamannya berbagai kota di belahan dunia: Vancouver, Strøget, New York, Houten, Mableton, London, etc. Cerita tentang semua yang berasal dari teori geometri mengenai segregasi kota dan akhirnya mendorong zoning dan membuat sprawl city bermunculan.
Ada juga cerita tentang the one and only, walikota Bogota, Enrique Penalosa. Meskipun masa keemasan Bogota sekarang agak meredup, tapi kota ini jadi contoh nyata bahwa tranformasi itu mungkin. Yang justru bikin gw kagum, sebelum Enrique Penalosa naik jadi walikota, pertempuran jabatan walikota terjadi antara Mockus dan Gil Penalosa -kakak dari Enrique- yang dimenangkan Mockus. Lalu Enrique datang ke Mockus dan bawa ide tentang perubahan apa yang bisa dia kasih ke Bogota. Ide diterima dan dia dikasih jabatan untuk ngurusin tetek benget soal taman. Lawan politiknya itu. Dan dari satu walikota ke walikota lain, mereka sudi lho meneruskan hal baik yang sudah diterapkan pendahulunya. Bukan tipe, 'Gengsi lah gw nerusin kebijakan lawan politik.pendahulu gw, mari kita rombak!!'
Buat gw, buku ini menarik karena approach yang dipake dari berbagai aspek. Ada psikologis, human behavior, ekonomi, neuroscience, social, dan sudah barang tentu sisi teknisnya tentang tata kota/arsitektur. Awalnya gw ragu ketika akan beli buku ini, kalau yang diceritakan hal teknis tentang bagaimana sebuah kota dibangun, ya aku giv-eup lah, otak akik nggak nyampe. Lha wong ketika baca buku ini, di bagian awal ada deskripsi mengenai tata kota Yunani dan Roma di jaman dulu. Gw sebagai cewek soleha dengan satu sel otak, nggak nyampe banget buat ngebayangin deskripsinya. Pokoknya kalau soal ruang, spasial, geometri sing koyok ngono, aku wis nyerah.
Dan gw suka banget dengan berbagai sosial eksperimen yang dilakukan, bahwa kota tuh emang udah kayak laboratorium raksasa di mana kita bisa melihat berbagai hal terjadi. Tentang human behavior/psychological yang menurut gw luar biasa menarik.
Pun bab terakhir di buku ini yang menceritakan bahwa siapa pun bisa bikin perubahan yang lebih baik, walau kecil. Ada cerita tentang beberapa orang yang berhasil menjadikan tempat tinggal di sekitarnya menjadi lebih baik. Lebih nyaman, lebih terasa aman, dan bersahabat. Salah satunya adalah seseorang yang selalu merasa terganggu dengan suara klakson mobil. Awalnya dia lempar telur sama pengendara yang terus bunyiin klakson, tapi dia sadar kalau itu nggak ada gunanya. Kemudian –hal ini yang bikin gw kagum- dia nangkring buat memperhatikan apa sih yang bikin mereka bunyiin klakson ngga berhenti-berhenti. Dia amati terus sampai ketemu penyebab dan polanya. Dia bawa hal ini ke meeting community wilayahnya, sampai ke transport departemen. Dia kasih penjelasan dan tawarin solusi. Meskipun hasil nggak 100% seperti yang diharapkan, tapi keadaan membaik. Pahlawan yang sebenernya ya orang-orang seperti mereka ini.
Sekarang, aku penasaran, tentang pendapat para arsitektur atau city planner mengenai yang ada di buku ini, iya nggak sih kayak gini?
Harga buku ini berapa ya?
ReplyDelete