Jadi gini, tau kan ya kalo tipikal Indo (juga tipikal Asia dan Afrika pada umumnya) yang namanya kawinan tuh idealnya heboh dan membahana. Bahwa nggak semua ngerti ada beberapa orang yang emang konsepnya lebih ke syukuran aja dan ngundang orang-orang terdekat thok atau mungkin habis kawin ya makan malam keluarga doang, and they do it by choice, meskipun mereka sebenarnya tergolong mampu. Lha, emang maunya kayak gitu. Ya tapi harap makleum, namanya juga NKRI, kalau ada yang memilih buat kayak gitu dan dari keluarga yang mampu, biasanya pergunjingan dimulai. Misalnya,'Ih, anaknya Pak Anu kan orang mampu, masak nikahan anaknya cuma kayak gitu, tetangga nggak pada diundang,' dan nggak jarang sampai ke level, 'Kok nikahnya diem-diem ya, pasti udah isi duluan.'
HUVT.
Nah, karena social pressure yang luar biasa dan kawinan itu kadang dijadikan alat penentu derajat manusia di mata masyarakat, nggak jarang ada yang sampai akhirnya maksa buat menggelar resepsi yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, bukan sesuai dengan kemampuan. Akhirnya apa yang dilakukan? Cari dana sana-sini supaya kebutuhan non-primer (boro-boro primer, tersier juga bukan kalo menurut gw) ini bisa terpenuhi seusuai standar di masyarakat. Mending kalau si peminjam benar-benar sadar dengan yang dia lakukan dan sudah cukup berhitung, bahwa nanti semua yang dipinjam bisa dikembalikan dlam jangka waktu x tanpa merepotkan anggota keluarga lainnya. Atau kalau orang tuanya yang cari pinjaman, ya pinjaman bisa dibayar tanpa bikin keuangan keluarga morat-marit dan mengorbankan kebutuhan lain yang jauh lebih penting daripada itu. Tapi kan yaaaaaa, gimana ya, yang penting sekarang aja dolo, pinjem aja dolo, bayarnya gimana? Ya urusan nanti. Kayaknya banyak kan ya yang kayak gitu, salah satunya dengan kasus yang satu ini *lha, kok jadi brgunjiang?!* *whatev, the point is, learn your lesson*
Gw juga taunya belum lama sik. Masih inget kan duluuuu gw pernah misuh-misuh kan ya sebagai pembaca terjemahan quran di kawinan, yang mana mereka kekeh masukin gelar akademik gw saat MC nyebut nama gw? *masih inget? pemirsa mengernyitkan dahi.* tiap inget itu akik masih KZL deh, ini juga ter-NKRI, mau kawinan dan kumpul keluarga apa pamer gelar? Tjih! Eniwei, yak, ini terjadi di kawinan yang itu. Intinya sih, keluarga ini pinjam dari bank atas nama tidak mau diremehkan tetangga dan mengangkat martabat keluarga. Huvft banget ya. Masyarakat kita tuh kadang nggak masuk akal dan nggilani yah? Salah satu ukuran pantas enggaknya seseorang/satu keluarga dihormati adalah dari resepsi yang diselenggarakan. Meanwhile, in the galaxy far far away, orang jauhhhhh lebih meghormati hal-hal kayak gini. Mau kawinan di halaman belakang rumah ngundang tiga orang juga sok aja. Kecil kemungkinan keluar pergunjingan seperti yang gw sebut di atas atau kometar resek macem,' Ih kawin kok nggak bilang-bilang sih?' atau 'Ih, kok gw nggak diundang sih?'
YHA?!
Oke, balik lagi. I would say that the idea of borrowing money was stupid. Plain stupid. Ya pokoknya, kurleb, gw tau apa yang terjadi di dalamnya, dramanya apa aja. Dan dengan minjam seperti ini, justru bikin semuanya makin ribet. Karena, setahu gw, yang minjam pihak cewek dan (tampaknya) pihak cowok nggak tahu, berarti beban ada di pihak cewek yang mana pihak cewek pun nggak bisa 'menanggung' ini sendirian sehingga butuh support dari saudara laki-lakinya yang juga sudah berkeluarga dan pasti punya bayak kebutuhan sendiri yang lebih penting. Selain itu, si ibu dari mereka sudah cukup sepuh, apa-apa yang dirasa bukan berita baik, harus disembunyikan rapat-rapat. Lalu, yang pasti sih, perihal ini baru bisa lunas bukan dalam hitungan bulan, tapi dalam hitungan beberapa tahun dan bunganya juga udah bertambah-tambah.
Bok. Gw sih belum pernah kawin yak, tapi kalau dipikir pake logika gw yang super cetek ini, bukannya setelah resepsi jauh lebih penting dari resepsi ya? Resepsi nggak sesuai standar masyarakat, berapa lama sih mereka bakal bertahan untuk terus bergunjing? Belum lagi kebutuhan orang habis kawin itu banyak bukan sih? Daripada dipake nyicil biaya resepsi yang cuma sehari *boro-boro sehari, cuma dua jam!!*, kalau logika gw sih lebih masuk akal dipake nyicil rumah atau panci teflon sekalian. Make sense!! Terus, jahanamnya gw, waktu gw tau hal ini, sisi kemanusiaan hampir tidak tersentuh sama sekali, yang ada malah,'Kok bisa sih? logikanya apaan? itu kan nggak masuk akal. Ya udahlah, biar mereka mikir akibatnya apaan.' And mein Mutter be like,'Nggak boleh gitu. Kita harus bersyukur makan masih gampang, blabalablabalabla *all the wisdom* dan kalau bisa, ya kita bantu sedikit-sedikit.'
Ya gitudeh. Bahwa kadang, ada yang maunya pesta besar, tapi mampunya sederhana. Ada yang memang sebenarnya mampu pesta besar, tapi emang maunya sederhana atau bahkan nggak mau perayaan. Ada yang memang mampu pesta dan memang maunya pesta besar. Ada juga yang mampunya sederhana kemudian menyelenggarakan secara sederhana. Ya sekarang sih terserah bae' lah mau gimana, asal tau risikonya kayak apa.
No comments:
Post a Comment