Beware, it's going to be a long post. Don't tell me I did not warn you.
Salah satu buku bagus yang gw baca belakangan adalah Outliers dari Malcolm Gladwell. Buku ini mencakup dua kriteria sederhana untuk dimasukkan ke dalam golongan buku non fiksi favorit 1) topik yang diangkat bagus; 2) penyampainnya mudah dimengerti. I'll definitely will go for other books written by him.
Intinya buku ini mengisahkan beragai kisah sukses dari orang yang berbeda dari bidang yang berbeda pula. Bahwa selama ini, kita lebih sering menilai kesuksesan seseorang semata-mata dari seberapa keras dia bekerja (di luar faktor Tuhan mengizinkan atau nggak) dan selama ini pun kita hampir selalu, HAMPIR SELALU, menggaung-gaungkan bahwa siapa yang mau bekerja keras pasti suskses, self-made man, pokoknya ala-ala golden ways deh. Padahal banyak faktor selain kerja keras yang bisa berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang.
1. something that is situated away from or classed differently from a main or related body
2. a statistical observation that is markedly different in value from the others of sample
Ibarat gw terjemahin ke Bahasa Sunda, mungkin Outlier ini sejenis 'mahiwal' kali yak.
Eniwei, Gladwell menguraikan bahwa kesuksesan itu nggak melulu buah dari ambisi, kerja keras, ataupun kecerdasan, banyak faktor yang bisa ditilik lebih dalam dan lebih luas mengenai kesuksesan seseorang. Mungkin aja ada dua orang dengan dua kualitas yang bersaing, sama-sama mumpuni, tapi kenapa yang satu bisa melesat lebih baik dari yang lain.
Opportunity
Yes, sejago-jagonya orang, kalau kesempatannya nggak ada atau nggak pas, ya tetep nggak bisa ngapa-ngapain. Ada beberapa contoh yang Gladwell uraikan, sekarang salah satu yang mau gw ceritakan adalah tentang Bill Gates, kenapa? Karena gw gedek sama orang yang selama ini dengan entengnya bilang,'Nggak apa-apa DO, pasti tetep sukses kok, liat aja Bill Gates.' Duileeee masvro/mbaksis, situ yakin levelnya nyampe buat dibandingin sama Bill Gates?
Sekarang kita lihat Gates cilik. Dia lahir dari keluarga yang berada (temen sempet ada yang bilang kalau ada gosip yang mengatakan bahwa Gates itu anak petani. Dih, pasti pengen ngasih efek super dramatis ya akan kesuksesan dia?), bapaknya seorang lawyer yang sukses dan mamaknya adalah anak banker yang sukses. Waktu kecil, di sekolah, dia anaknya cepat bosan, (mungkin karena pelajaran di public school terlalu cemen) oleh karena itu sang ibu memindahkan dia ke sekolah swasta nan elit. Di sekolah tersebut, perkumpulan orang tua murid berhasil mengumpulkan dana untuk menyewa komputer, sehingga terbentuklah komputer klub. Sejak saat itu, Gates getol banget ngulik mengenai komputer.
Nggak lama setelah komputer klub terbentuk, serentetan kesempatan datang. Ada sebuah firma komputer yang baru dibentuk oleh programmer universitas Washington (WU) dan salah satu pendirinya adalah orang tua murid dari senior Gates di sekolah. Orang tua murid ini mencari orang untuk ngetes software yang akan digunakan dengan bayaran berupa jam bebas untuk menggunakan computer programming. Sudah barang tentu Gates mau. Meskipun perusahaan ini akhirnya bangkrut, Gates sudah akrab dengan computer center dari WU. Dia pun dapet kesempatan untuk pake komputer di sana secara bebas asalkan mau mengerjakan suatu software yang dibutuhkan. Selain mengerjakan project, Gates ini bandel, dia sering bikin huru-hara yang bikin sistem crashing and breakdown pun stealing password, etc. Karena pada akhirnya dilarang pake komputer secara terang-terangan, dia nyelinap saat komputer sedang tidak digunakan, yaitu jam 3-6 pagi. Bhayangkannn!!!
Setelah itu, ada suatu perusahaan yang baru mendapat kontrak untuk mengerjakan software untuk sebuat power station. Pada saat itu orang dengan penguasaan yang baik terhadap software tersebut masih jarang. Hal yang dilakukan si perusahaan adalah mengontak sekolah Gates. Gates tertarik dan berhasil meyakinkan gurunya untuk meninggalkan sekolah dan mengerjakan hal ini dengan di bawah embel-embel 'study project.'
Oke, sebelum kita melangkah lebih jauh, pernah denger cerita tentang 10000 jam? Dikisahkan bahwa untuk menjadi seorang yang mumpuni di bidangnya, diperlukan latihan selama 10000 jam. Hal ini ada dasarnya dan diambil berdasarkan hasil riset terhadap orang-orang sukses dari berbagai bidang (academic, musik, grandmaster catur, pun programming).
Nah, di titik Gates DO dari Harvard, dia sudah punya tujuh tahun pengalaman di bidangnya, dia sudah melewati 10000 jam tersebut. Semuanya serba pas dan ketemu. Serangkaian kesempatan yang Gates dapat sejak kecil karena dia adalah anak dari seorang yang berada PLUS dia memang brilian secara alami dan juga pekerja keras membentuk dia jadi seorang yang seperti sekarang ini. Pada saat DO, dia siap secara keilmuan karena pengalaman yang banyak, pun timing yang pas membuat akhirnya dia sukses berat dengan Microsoft-nya.
Keliatan kan apa yang bisa bikin Gates sukses, bukan sekonyong-konyong DO dari Harvard terus BAM! sukses berat. We should stop telling shit to kids that it’s ok to be DO from university because we can be as successful as Gates. It’s possible, but it’s not always.
Tentang opportunity, ada beberapa contoh lain yang Gladwell kasih, dari mulai yang sukses maupun nggak suskses meskipun orang tersebut punya kualitas untuk bisa sukses. Mulai dari cerita tentang Beatles yang ditempa di Hamburg dan akhirnya mereka punya stage act yang mumpuni, para imigran Yahudi yang pergi ke Amerika dan bisa sukses berat, para pemain Hockey dari Kanada yang bisa sukses ‘hanya’ karena mereka lebih beruntung dilahirkan pada bulan-bulan tertentu sampai kisah kurang sukses dari seorang yang cerdas luar biasa namun dilahirkan di keluarga yang miskin dan kekurangan practical intelligent, sehingga banyak kesempatan yang lepas. He’s even smarter than Einstein.
Cultural legacy
Apa ya ini yang dimaksud? Warisan budaya leluhur kali yak. Ketika membicarakan soal cultural legacy, bukan hanya satu atau dua generasi sebelumnya yang dijadikan sebagai patokan, tapi tradisi sejak ratusan tahun silam yang masih tetap dibawa sampai saat ini. Ada beberapa peristiwa yang dianggap aneh dan susah dijelaskan, kenapa orang-orang bisa bertindak begitu dan ternyata penyebabnya adalah cultural legacy yang terus dibawa dari tempat asal mereka meski pun mereka sudah bermigrasi dari wilayah aslinya.
Nggak ada salah/benar atau baik/buruk tentang cultural legacy, hal ini memang sesuatu yang sudah ada dan dibawa turun-temurun dari suatu golongan/bangsa ke genarsi selanjutnya. Penentunya adalah situasi yang dihadapi. Apakah ketika kita dihadapkan pada suatu situasi/profesi/lingkungan, cultural legacy asli yang kita miliki harus kekeh diterapkan?
Ada beberapa contoh kasus yang diangkat oleh Galdwell, salah satunya adalah tentang kisah tragis kecelakaan pesawat. Galdwell menguraikan bahwa jarang sekali kecelakaan pesawat terjadi karena satu major problem. Biasanya akumulasi dari permasalahan-permasalahan yang bak butiran debu.
Banyak kecelakaan pesawat yang terjadi akibat keseganan dan hierarki yang dirasakan. Bahwa first officer/engineer nggak berani negur pilot ketika mereka merasa ada yang salah. Akibatnya apa? Kadang bawahan ini cuma berani ngasih hint. Mereka ngasih hint berkali-kali sampai (kadang) pilot ngeh kalau bawahannya berusaha bilang kalau ada sesuatu yang salah, sayangnya hal ini terjadi ketika sudah terlambat dan kecelakaan nggak bisa terhindarkan.
Salah satunya adalah ucapan ‘Captain, the weather radar has helped us a lot.’ Yang ditanggepin sama sang kapten dengan,’Hmmm, ya iyalah.’ Padahal pada saat itu yang officer pengen bilang adalah,’Nyet, liat radar cuaca nyet, ini situasi udah bahaya!!’ Tapi dia terlalu segan. Kenapa bisa segan? Karena sang officer berasal dari negara yang memiliki cultural legacy berupa hierarki yang ribet dan sangat menghormati/menyegani orang dengan posisi lebih tinggi. Hal yang bikin repot, karena officer ini nggak cuma menghadapi sang kapten, tapi juga petugas ATC yang punya cultural legacy yang juga beda.
Seorang psikolog asal Landa yang kerja buat IBM pernah bikin indeks untuk beberapa aspek. Seperti maskulinitas, individualisme, etc., dan salah satu di dalamnya adalah Power Distance Index (PDI), semakin tinggi PDI, semakin segan, nggak enak, dan berhierakri. Hal yang sebaliknya terjadi untuk negara dengan PDI rendah. Dan hasil investigasi nunjukkin bahwa banyak kecelakaan pesawat yang punya korelasi kuat dengan masalah PDI ini.
Petugas ATC di JFK –salah satu bandara tersibuk- terkenal luar biasa jago tapi jahanam dan kasar. Kalau lo nggak setuju sama arahan dia, ngomong biasa nggak cukup, lo perlu keras, bentak sekalian kalo perlu. Baru mereka dengerin elu. Salah satu kecelakaan pernah terjadi karena pilot udah capek dan co-pilot berasal dari PDI yang tinggi. Ketika komunikasi dengan petugas ATC JFK, dia sopan banget dan nggak berani bantah, ketika dia sadar bahwa bahan bakar nggak cukup, dia cuma bilang ‘Kita kehabisan bahan bakar,’ yang diterjemahkan sama petugas ATC sebagai hal yang biasa. Pesawat mau landing tuh emang bahan bakarnya menuju habis, kalau masih banyak malah berat dan bahaya. Dan ketika co-pilot mengomunikasikan hal ini dengan petugas JFK, si petugas ngebentak dan co pilot cuma bisa bilang,’Petugasnya marah,’ *di bagian ini, gw bacanya sampe lemes* dan dia nggak berani nyanggah atau bilang apa-apa. Pada saat itu yang seharusnya dilakukan adalah bentak balik sambil ngomong ,’Bahan bakar kita udah mau habis. Ini emergency, we won’t make it to land in JFK.’ Petugas akan cari cara mendaratkan di bandara terdekat lainnya. Tapi hal ini nggak terjadi.
Keseganan seperti ini banyak terjadi di Korean Airlines. Saat ini, dia memang merupakan salah satu maskapai terbaik, tapi tidak sampai akhir 90-an. Maskapai ini sering sekali mengalami kecelakaan, dari mulai kelakuan cabin crew yang jahanam (ngerokok sambil baca koran dalam pesawat) sampai kentalnya kultur keseganan yang dimiliki. Perubahan terjadi tahun 2000 ketika maskapai ini minta tolong orang luar untuk bebenah. Hal pertama yang begitu sederhana namun signifikan adalah mengevaluasi kemampuan Bahasa Inggris. Bukan hanya masalah komunikasi dengan petugas ATC atau pihak luar lainnya, tapi alasannya adalah keinginan untuk ngasih identitas lain di luar identitas asli mereka. Dengan Bahasa Inggris, mereka bisa keluar dari kekentalan culture legacy mereka, bisa mengekspresikan diri dengan lebih jelas secara tepat dan tanpa basa-basi. Cultural legacy itu perlu, tapi ada kalanya keluar dari sana dan mengadaptasi milik orang lain ketika kondisi mengharuskan.
Contoh lain yang dikasih adalah cultural legacy orang Asia. Tentang kerja keras yang dimiliki tipikal orang Asia, sampai betapa cemerlangnya orang Asia mengenai matematika, yang kemudian diadaptasi sebuah sekolah khusus orang miskin di distrik Bronx, New York dan menghasilkan output yang baik. Meskipun Asia yang dimaksud bukan Indonesia melainkan sekitar Cina, Taiwan, Hongkong, Korea, Singapura dan Jepang, tapi gw ikut bangga. Meskipun kalau urusan critical thingking dan keberanian berbicara kita memble, tapi gw baru sadar, prinsip 'menanam padi' orang Asia (yang merupakan akar dari kerja keras) yang dijabarkan Gladwell di sini sungguh bagus. Aku terharu.
Ada beberapa poin dari bagian akhir buku ini yang gw suka, begini bunyinya:
1. Get real *ngomong sambil nampar pipi sendiri*. Kebanyakan dari kita terbuai lah denger kata-kata berbunga-bunga ala-ala golden ways. Kerja keras, memantaskan diri, jangan menyerah, pasti akan berhasil. Stop that shit! Bahwa kita harus tetap optimis tapi realistis, bukan optimis tapi hasidu (hayalan si dungu). Bahwa yang namanya kerja keras itu buahnya pasti manis, iya gw percaya, but universe does not ALWAYS work that way, sometimes it teases us and shit occurs. It does not matter how hard we work, we still get nothing. Tetap optimis tapi realistis, when shit happens hard, just suck it up and embrace it.
2. Pandai-pandailah membaca situasi. Bahwa kadang kesempatannya datang tapi mungkin kita terlalu takut, seperti yang Galdwell bilang ‘Outliers are those who have been given opportunities- and who have had the strength and presence of mind to seize them.’ Sadar juga bahwa situasi setiap dari kita berbeda, ada yang lebih diuntungkan dan ada yang kurang diuntungkan, bahwa kesempatan yang bisa didapat tiap orang pun bisa berbeda. Lagi-lagi, suck it up and embrace it then strategize better. Bahkan kadang kita perlu ‘meninggalkan’ identitas kita (our cultural legacy) kalau memang itu jadi hambatan, kadang memang perlu mengadaptasi sesuatu yang akarnya bukan milik kita.
HEDAN!!! Ngomong apa sih gw di dua poin tersebut? Intinya mah buku bagus, nggak rugi kalau dibaca. Karena hidup perlu keseimbangan, setelah puyeng baca D*tik forum tentang MakSum yang thread-ya udah nyampe 2000an halaman dan liatin hestek instagram dia yang fenomenal, ada baiknya menetralisisr diri dengan buku bagus. Selamat membaca.
Salah satu buku bagus yang gw baca belakangan adalah Outliers dari Malcolm Gladwell. Buku ini mencakup dua kriteria sederhana untuk dimasukkan ke dalam golongan buku non fiksi favorit 1) topik yang diangkat bagus; 2) penyampainnya mudah dimengerti. I'll definitely will go for other books written by him.
Intinya buku ini mengisahkan beragai kisah sukses dari orang yang berbeda dari bidang yang berbeda pula. Bahwa selama ini, kita lebih sering menilai kesuksesan seseorang semata-mata dari seberapa keras dia bekerja (di luar faktor Tuhan mengizinkan atau nggak) dan selama ini pun kita hampir selalu, HAMPIR SELALU, menggaung-gaungkan bahwa siapa yang mau bekerja keras pasti suskses, self-made man, pokoknya ala-ala golden ways deh. Padahal banyak faktor selain kerja keras yang bisa berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang.
***
Pertama, Gladwell ngasih setetes pencerahan mengenai apa itu Outlier yaitu:1. something that is situated away from or classed differently from a main or related body
2. a statistical observation that is markedly different in value from the others of sample
Ibarat gw terjemahin ke Bahasa Sunda, mungkin Outlier ini sejenis 'mahiwal' kali yak.
Eniwei, Gladwell menguraikan bahwa kesuksesan itu nggak melulu buah dari ambisi, kerja keras, ataupun kecerdasan, banyak faktor yang bisa ditilik lebih dalam dan lebih luas mengenai kesuksesan seseorang. Mungkin aja ada dua orang dengan dua kualitas yang bersaing, sama-sama mumpuni, tapi kenapa yang satu bisa melesat lebih baik dari yang lain.
Opportunity
Yes, sejago-jagonya orang, kalau kesempatannya nggak ada atau nggak pas, ya tetep nggak bisa ngapa-ngapain. Ada beberapa contoh yang Gladwell uraikan, sekarang salah satu yang mau gw ceritakan adalah tentang Bill Gates, kenapa? Karena gw gedek sama orang yang selama ini dengan entengnya bilang,'Nggak apa-apa DO, pasti tetep sukses kok, liat aja Bill Gates.' Duileeee masvro/mbaksis, situ yakin levelnya nyampe buat dibandingin sama Bill Gates?
Sekarang kita lihat Gates cilik. Dia lahir dari keluarga yang berada (temen sempet ada yang bilang kalau ada gosip yang mengatakan bahwa Gates itu anak petani. Dih, pasti pengen ngasih efek super dramatis ya akan kesuksesan dia?), bapaknya seorang lawyer yang sukses dan mamaknya adalah anak banker yang sukses. Waktu kecil, di sekolah, dia anaknya cepat bosan, (mungkin karena pelajaran di public school terlalu cemen) oleh karena itu sang ibu memindahkan dia ke sekolah swasta nan elit. Di sekolah tersebut, perkumpulan orang tua murid berhasil mengumpulkan dana untuk menyewa komputer, sehingga terbentuklah komputer klub. Sejak saat itu, Gates getol banget ngulik mengenai komputer.
Nggak lama setelah komputer klub terbentuk, serentetan kesempatan datang. Ada sebuah firma komputer yang baru dibentuk oleh programmer universitas Washington (WU) dan salah satu pendirinya adalah orang tua murid dari senior Gates di sekolah. Orang tua murid ini mencari orang untuk ngetes software yang akan digunakan dengan bayaran berupa jam bebas untuk menggunakan computer programming. Sudah barang tentu Gates mau. Meskipun perusahaan ini akhirnya bangkrut, Gates sudah akrab dengan computer center dari WU. Dia pun dapet kesempatan untuk pake komputer di sana secara bebas asalkan mau mengerjakan suatu software yang dibutuhkan. Selain mengerjakan project, Gates ini bandel, dia sering bikin huru-hara yang bikin sistem crashing and breakdown pun stealing password, etc. Karena pada akhirnya dilarang pake komputer secara terang-terangan, dia nyelinap saat komputer sedang tidak digunakan, yaitu jam 3-6 pagi. Bhayangkannn!!!
Setelah itu, ada suatu perusahaan yang baru mendapat kontrak untuk mengerjakan software untuk sebuat power station. Pada saat itu orang dengan penguasaan yang baik terhadap software tersebut masih jarang. Hal yang dilakukan si perusahaan adalah mengontak sekolah Gates. Gates tertarik dan berhasil meyakinkan gurunya untuk meninggalkan sekolah dan mengerjakan hal ini dengan di bawah embel-embel 'study project.'
Oke, sebelum kita melangkah lebih jauh, pernah denger cerita tentang 10000 jam? Dikisahkan bahwa untuk menjadi seorang yang mumpuni di bidangnya, diperlukan latihan selama 10000 jam. Hal ini ada dasarnya dan diambil berdasarkan hasil riset terhadap orang-orang sukses dari berbagai bidang (academic, musik, grandmaster catur, pun programming).
Nah, di titik Gates DO dari Harvard, dia sudah punya tujuh tahun pengalaman di bidangnya, dia sudah melewati 10000 jam tersebut. Semuanya serba pas dan ketemu. Serangkaian kesempatan yang Gates dapat sejak kecil karena dia adalah anak dari seorang yang berada PLUS dia memang brilian secara alami dan juga pekerja keras membentuk dia jadi seorang yang seperti sekarang ini. Pada saat DO, dia siap secara keilmuan karena pengalaman yang banyak, pun timing yang pas membuat akhirnya dia sukses berat dengan Microsoft-nya.
Keliatan kan apa yang bisa bikin Gates sukses, bukan sekonyong-konyong DO dari Harvard terus BAM! sukses berat. We should stop telling shit to kids that it’s ok to be DO from university because we can be as successful as Gates. It’s possible, but it’s not always.
Tentang opportunity, ada beberapa contoh lain yang Gladwell kasih, dari mulai yang sukses maupun nggak suskses meskipun orang tersebut punya kualitas untuk bisa sukses. Mulai dari cerita tentang Beatles yang ditempa di Hamburg dan akhirnya mereka punya stage act yang mumpuni, para imigran Yahudi yang pergi ke Amerika dan bisa sukses berat, para pemain Hockey dari Kanada yang bisa sukses ‘hanya’ karena mereka lebih beruntung dilahirkan pada bulan-bulan tertentu sampai kisah kurang sukses dari seorang yang cerdas luar biasa namun dilahirkan di keluarga yang miskin dan kekurangan practical intelligent, sehingga banyak kesempatan yang lepas. He’s even smarter than Einstein.
Cultural legacy
Apa ya ini yang dimaksud? Warisan budaya leluhur kali yak. Ketika membicarakan soal cultural legacy, bukan hanya satu atau dua generasi sebelumnya yang dijadikan sebagai patokan, tapi tradisi sejak ratusan tahun silam yang masih tetap dibawa sampai saat ini. Ada beberapa peristiwa yang dianggap aneh dan susah dijelaskan, kenapa orang-orang bisa bertindak begitu dan ternyata penyebabnya adalah cultural legacy yang terus dibawa dari tempat asal mereka meski pun mereka sudah bermigrasi dari wilayah aslinya.
Nggak ada salah/benar atau baik/buruk tentang cultural legacy, hal ini memang sesuatu yang sudah ada dan dibawa turun-temurun dari suatu golongan/bangsa ke genarsi selanjutnya. Penentunya adalah situasi yang dihadapi. Apakah ketika kita dihadapkan pada suatu situasi/profesi/lingkungan, cultural legacy asli yang kita miliki harus kekeh diterapkan?
Ada beberapa contoh kasus yang diangkat oleh Galdwell, salah satunya adalah tentang kisah tragis kecelakaan pesawat. Galdwell menguraikan bahwa jarang sekali kecelakaan pesawat terjadi karena satu major problem. Biasanya akumulasi dari permasalahan-permasalahan yang bak butiran debu.
Banyak kecelakaan pesawat yang terjadi akibat keseganan dan hierarki yang dirasakan. Bahwa first officer/engineer nggak berani negur pilot ketika mereka merasa ada yang salah. Akibatnya apa? Kadang bawahan ini cuma berani ngasih hint. Mereka ngasih hint berkali-kali sampai (kadang) pilot ngeh kalau bawahannya berusaha bilang kalau ada sesuatu yang salah, sayangnya hal ini terjadi ketika sudah terlambat dan kecelakaan nggak bisa terhindarkan.
Salah satunya adalah ucapan ‘Captain, the weather radar has helped us a lot.’ Yang ditanggepin sama sang kapten dengan,’Hmmm, ya iyalah.’ Padahal pada saat itu yang officer pengen bilang adalah,’Nyet, liat radar cuaca nyet, ini situasi udah bahaya!!’ Tapi dia terlalu segan. Kenapa bisa segan? Karena sang officer berasal dari negara yang memiliki cultural legacy berupa hierarki yang ribet dan sangat menghormati/menyegani orang dengan posisi lebih tinggi. Hal yang bikin repot, karena officer ini nggak cuma menghadapi sang kapten, tapi juga petugas ATC yang punya cultural legacy yang juga beda.
Seorang psikolog asal Landa yang kerja buat IBM pernah bikin indeks untuk beberapa aspek. Seperti maskulinitas, individualisme, etc., dan salah satu di dalamnya adalah Power Distance Index (PDI), semakin tinggi PDI, semakin segan, nggak enak, dan berhierakri. Hal yang sebaliknya terjadi untuk negara dengan PDI rendah. Dan hasil investigasi nunjukkin bahwa banyak kecelakaan pesawat yang punya korelasi kuat dengan masalah PDI ini.
Petugas ATC di JFK –salah satu bandara tersibuk- terkenal luar biasa jago tapi jahanam dan kasar. Kalau lo nggak setuju sama arahan dia, ngomong biasa nggak cukup, lo perlu keras, bentak sekalian kalo perlu. Baru mereka dengerin elu. Salah satu kecelakaan pernah terjadi karena pilot udah capek dan co-pilot berasal dari PDI yang tinggi. Ketika komunikasi dengan petugas ATC JFK, dia sopan banget dan nggak berani bantah, ketika dia sadar bahwa bahan bakar nggak cukup, dia cuma bilang ‘Kita kehabisan bahan bakar,’ yang diterjemahkan sama petugas ATC sebagai hal yang biasa. Pesawat mau landing tuh emang bahan bakarnya menuju habis, kalau masih banyak malah berat dan bahaya. Dan ketika co-pilot mengomunikasikan hal ini dengan petugas JFK, si petugas ngebentak dan co pilot cuma bisa bilang,’Petugasnya marah,’ *di bagian ini, gw bacanya sampe lemes* dan dia nggak berani nyanggah atau bilang apa-apa. Pada saat itu yang seharusnya dilakukan adalah bentak balik sambil ngomong ,’Bahan bakar kita udah mau habis. Ini emergency, we won’t make it to land in JFK.’ Petugas akan cari cara mendaratkan di bandara terdekat lainnya. Tapi hal ini nggak terjadi.
Keseganan seperti ini banyak terjadi di Korean Airlines. Saat ini, dia memang merupakan salah satu maskapai terbaik, tapi tidak sampai akhir 90-an. Maskapai ini sering sekali mengalami kecelakaan, dari mulai kelakuan cabin crew yang jahanam (ngerokok sambil baca koran dalam pesawat) sampai kentalnya kultur keseganan yang dimiliki. Perubahan terjadi tahun 2000 ketika maskapai ini minta tolong orang luar untuk bebenah. Hal pertama yang begitu sederhana namun signifikan adalah mengevaluasi kemampuan Bahasa Inggris. Bukan hanya masalah komunikasi dengan petugas ATC atau pihak luar lainnya, tapi alasannya adalah keinginan untuk ngasih identitas lain di luar identitas asli mereka. Dengan Bahasa Inggris, mereka bisa keluar dari kekentalan culture legacy mereka, bisa mengekspresikan diri dengan lebih jelas secara tepat dan tanpa basa-basi. Cultural legacy itu perlu, tapi ada kalanya keluar dari sana dan mengadaptasi milik orang lain ketika kondisi mengharuskan.
Contoh lain yang dikasih adalah cultural legacy orang Asia. Tentang kerja keras yang dimiliki tipikal orang Asia, sampai betapa cemerlangnya orang Asia mengenai matematika, yang kemudian diadaptasi sebuah sekolah khusus orang miskin di distrik Bronx, New York dan menghasilkan output yang baik. Meskipun Asia yang dimaksud bukan Indonesia melainkan sekitar Cina, Taiwan, Hongkong, Korea, Singapura dan Jepang, tapi gw ikut bangga. Meskipun kalau urusan critical thingking dan keberanian berbicara kita memble, tapi gw baru sadar, prinsip 'menanam padi' orang Asia (yang merupakan akar dari kerja keras) yang dijabarkan Gladwell di sini sungguh bagus. Aku terharu.
Ada beberapa poin dari bagian akhir buku ini yang gw suka, begini bunyinya:
Everything we have learned in Outliers says that success follows a predictable course. It is not the brightest who succeed. Nor is success simply the sum of decisions and efforts we make on our own behalf. It is rather, a gift. Outliers are those who have been given opportunities- and who have had the strength and presence of mind to seize them.
We are so caught in the myths of the best and the brightest and the self-made that we think outliers spring naturally from earth. To build a better world we need to replace the patchwork of lucky breaks and arbitrary advantages that today determine success with a society that provide opportunity for all.
***
Terus kalau kerja keras dan bakat belum tentu bikin kita sukses, apa gunanya? Apa buku ini ngajak untuk ‘Ya udah pasrah aja deh, you may be bright but it does not mean that you will be successful in the future.’ Ya nggak gitu juga sih, kalau buat gw secara pribadi, hal penting yang bisa petik dari buku ini:1. Get real *ngomong sambil nampar pipi sendiri*. Kebanyakan dari kita terbuai lah denger kata-kata berbunga-bunga ala-ala golden ways. Kerja keras, memantaskan diri, jangan menyerah, pasti akan berhasil. Stop that shit! Bahwa kita harus tetap optimis tapi realistis, bukan optimis tapi hasidu (hayalan si dungu). Bahwa yang namanya kerja keras itu buahnya pasti manis, iya gw percaya, but universe does not ALWAYS work that way, sometimes it teases us and shit occurs. It does not matter how hard we work, we still get nothing. Tetap optimis tapi realistis, when shit happens hard, just suck it up and embrace it.
2. Pandai-pandailah membaca situasi. Bahwa kadang kesempatannya datang tapi mungkin kita terlalu takut, seperti yang Galdwell bilang ‘Outliers are those who have been given opportunities- and who have had the strength and presence of mind to seize them.’ Sadar juga bahwa situasi setiap dari kita berbeda, ada yang lebih diuntungkan dan ada yang kurang diuntungkan, bahwa kesempatan yang bisa didapat tiap orang pun bisa berbeda. Lagi-lagi, suck it up and embrace it then strategize better. Bahkan kadang kita perlu ‘meninggalkan’ identitas kita (our cultural legacy) kalau memang itu jadi hambatan, kadang memang perlu mengadaptasi sesuatu yang akarnya bukan milik kita.
HEDAN!!! Ngomong apa sih gw di dua poin tersebut? Intinya mah buku bagus, nggak rugi kalau dibaca. Karena hidup perlu keseimbangan, setelah puyeng baca D*tik forum tentang MakSum yang thread-ya udah nyampe 2000an halaman dan liatin hestek instagram dia yang fenomenal, ada baiknya menetralisisr diri dengan buku bagus. Selamat membaca.
mantabbbb....
ReplyDeleteka bening, aku tetap masih pembaca setia blog kaka. dan ini kecee bangeeet. makasih ya ka :) jadi pengen baca bukunyaa. (Nadiya)
ReplyDeleteAwww, makasih lohhh :'). Iya, ayo baca bukunya. Kalo dari dia paling seru Outliers dan Blink!!
Delete