Setelah jatuh cinta dengan tulisan Amanda Ripley di Smartest Kids in the
World, gw pun lanjut ke The Unthinkable. Meskipun The Unthinkable ini sebenarnya
buku pertama yang ditulis Ripley, tapi justru gw baca buku ini belakangan. Buku ini bercerita tentang mereka yang bisa survive dari
extreme/life-death condition. Tapi nggak sekadar membahas siapa saja yang
survive dan apa yang mereka lakukan sehingga bisa survive, tapi buku ini juga
membahas dari sisi science dan psikologi tentang kenapa manusia bisa bertindak
ini atau itu dalam kondisi yang ekstrem. Buku ini membahas fase yang dialami
oleh manusia ketika sedang ada dalam kondisi ekstrem dan ketakutan, selain itu ditunjukkan pula bahwa regular people (orang-orang cem
kita yang nggak terlatih ngadepin kondisi ekstrem) pun tetap punya chance untuk
lolos dari kondisi tersebut.
Tipikal Ripley yang senang kasih contoh banyak kasus, di buku ini pun
setiap fase yang dilalui oleh manusia selalu disertai dengan contoh kasus. Dari
mulai ledakan kapal, teror 9/11, kecelakaan pesawat (ini lumayan banyak), ferry yang tenggelam, penembakan, penyanderaan
sampai ekstrem crowd dalam ibadah haji pun ada di buku ini. Duh, aku cinta
banget sama tulisan Ripley semoga diana nulis buku ke-3.
Nggak akan bahas bab-bab dan tahapan yang diceritain Ripley karena pusing
pala berbi nanti bisa banyak banget yang ditulis, jadi gw mau nulis kesan dan
pesan yang dirasakan dan pelajaran yang bisa dipratikkan sebagai regular
people.
***
Habis baca ini tuh perasaan jadi campur aduk. Pertama, gw ragu apakah
setelah baca buku ini my survival odds jadi meningkat? Yah, namanya juga baca
buku, mungkin membuat gw jadi sedikit well-informed, tapi tetep weh not
well-trained. Kok malah jadinya banyak bayangan-banyangan parno. Meskipun gw
akhirnya menghibur diri dengan meyakini bahwa semakin banyak informasi yang dimiliki,
semakin baik ‘program’ sub-conscious dalam otak yang akan memungkinkan untuk
bertindak tepat saat kondisi ekstrem (amit-amit sih nggak usah nemu kondisi
ekstrem). Kedua, hormat gw menjadi berlipat-lipat untuk mereka yang selalu ada
dalam kondisi ekstrem on daily basis. Mereka pasti well-trained karena itu
kewajibannya, tapi pasti tetap nggak mudah. Sama pemadam kebakaran, tentara,
tim SAR, polisi, pilot, pramugari, etc. Hands down! Lalu gw merasa terharu
campur cedih *semua hal aja gw terharuin, hih!!* karena ada beberapa contoh
kasus yang menunjukkan betapa berdedikasinya beberapa orang akan keselamatan
orang lain, pasti banyaklah orang kayak gini di seluruh dunia. Entah merasa
sebegitu perlunya untuk bertanggung jawab entah emang hatinya seputih salju.
Contoh di buku ini salah satunya Rick Rescorla.
Rick Rescorla ini wakil kepala
keamanan di Morgan Stanley (MS). MS adalah tenant terbesar di gedung WTC, lebih
dari 20 lantai dari WTC dioccupay oleh MS. Rescorla ini jebolan perang Vietnam,
makanya dia super aware, sigap, reliabe, dan bertanggung jawab. Dia ini sangat
keukeuh melakukan drill rutin untuk pegawai MS. Dia nggak mau tahu, pokoknya
dalam kondisi emergency, semua pegawai MS harus bisa menyelamatkan diri. Bukan
cuma pegawai, pengunjung/peserta training yang cuma datang ke MS sesekali pun
tetep di briefing soal keselamatan diri. Rescorla dan kawannya bahkan punya
skenario soal bagaimana teroris mungkin menyerang WTC. Dua-duanya terjadi, di
mana satu dari dua skenario tersebut adalah pesawat yang menabrakkan diri. He
knew it would happen.
Saat teror 9/11 terjadi. Rescorla kasi pengumuman pada semua pegawai MS untuk
tetap tenang dan lakukan apa yang sudah dia latihkan selama ini. Pegawai di
lantai yang lebih rendah, tunggu di sekitar tangga darurat dan nunggu mereka
yang ada di satu lantai di atasnya sampai. Lalu sama-sama menuruni tangga
dengan posisi pegawai dari lantai yang lebih tinggi berjalan di depan pegawai
dengan lantai lebih rendah. Terus begitu. Mereka yang kerja di lantai lebih
tinggi, dengan risiko lebih tinggi, harus dipastikan selamat. Di saat pegawai
menuruni tangga darurat untuk menyelamatkan diri Rick dan beberapa petugas
keamanan justru naik ke atas, memastikan semuanya berjalan dengan baik. At the
end, when WTC collapsed, only 13 MS employees—including Rescorla and 4 of his
security officers—were inside. Dan sisanya, 2687 pegawai MS berhasil selamat.
Njrit hebat banget!! Dan saat peristiwa itu terjadi, Rick sempet nelpon
istrinya, “Stop crying,”
he said. “I have to get these people out safely. If something should happen to
me, I want you to know I’ve never been happier. You made my life.” How could this guy be so unselfish and
self-sufficient??! TISU MANA TISU?!?!
***
Sekarang gimana dong nasib kita sebagai regular people? Beberapa hal
katanya sih bisa dilakukan, seperti:
Be informed. Pastikan kita punya informasi akan hal-hal yang penting,
seperti di mana emergency exit dari suatu gedung - yang mana gw nggak pernah
ngecek-. Entah di hotel kek, di gedung tempat kerja kek, di gedung yang sedang
dikunjungi kalo ada acara kek. Sukur-sukur melakukan test drive. Jalan-jalan
iseng nurunin tangga darurat di tempat kita sedang nginep misalnya. Perhatikan
juga saat pramugari ngasih arahan di pesawat atau baca emergency card di
pesawat. Ada satu kecelakaan pesawat, 5 dari sekitar 100an penumpang selamat.
Kelima orang itu adalah mereka yang baca emergeny card dan tahu persis di mana
lokasi pintu darurat. Saat kondisi buruk terjadi, sub-conscious program mereka
yang bekerja, tetap tenang, nggak peduli sama bagasi kabin, dan langsung ke
emergency exit terdekat.
Breathing. Intinya sih latihan pernafasan, mereka yang melakukan ini secara
teratur (yoga kek, meditasi kek, latihan pernafasan doang kek) punya prefrontal
cortex yang lebih tebal dari orang lain pada umumnya. Prefrontal cortex itu
bagian otak yang mengendalikan emosi, perhatian (attention), dan working
memory; semuanya berkaitan dengan stress control. Bukan cuma perkara prefrontal
cortex yang menebal, karena ini sih efek jangka panjang kalau latihan
pernafasan. Tapi terbiasa bernafas secara benar pada kondisi ekstrem (yaitu slowing
down breath, ambil nafas - tahan nafas - buang nafas) membantu kita memperlambat ‘primal-fear-response’.
Sederhananya, saat ada dalam kondisi ekstrem, respon kita yang utama adalah
respon primitif yang sifatnya sangat fisik. Pembuluh darah mengecil sehingga
kalau terluka akan mudah membeku darahnya, hormon tertentu dilepaskan sehingga
ketika meninju orang bisa berkali-kali lebih kuat dari kondisi normal. Hal ini
tentu saja nggak sepenuhnya baik karena otak ‘mengaktifkan’ pertahanan fisik,
hal ini terkompensasi dengan penurunan fungsi lain. Fungsi yang dianggap nggak
penting oleh otak akan dimatikan, jadi saat kondisi ekstrem ada yang bisa
tiba-tiba muntah atau pup tanpa sadar. Iya, berarti digestive function
dimatiin, karena nggak penting. Kerasa juga kan kalau lagi panik suga berasa
bego? Ga bisa mikir kan? Apalagi kondisi ekstrem. Pilot pesawat tempur bisa
ngalamin IQ ngedrop separo saat akan melakukan
tugasnya. Nah, slowing down breathing inilah yang bantu kita supaya emosi dan
primitive defense nggak mendominasi, masih bisa mikir gitu.
No comments:
Post a Comment