13 March 2015

[Buku] The Unthinkable by Amanda Ripley

Setelah jatuh cinta dengan tulisan Amanda Ripley di Smartest Kids in the World, gw pun lanjut ke The Unthinkable. Meskipun The Unthinkable ini sebenarnya buku pertama yang ditulis Ripley, tapi justru gw baca buku ini belakangan. Buku ini bercerita tentang mereka yang bisa survive dari extreme/life-death condition. Tapi nggak sekadar membahas siapa saja yang survive dan apa yang mereka lakukan sehingga bisa survive, tapi buku ini juga membahas dari sisi science dan psikologi tentang kenapa manusia bisa bertindak ini atau itu dalam kondisi yang ekstrem. Buku ini membahas fase yang dialami oleh manusia ketika sedang ada dalam kondisi ekstrem dan ketakutan, selain itu ditunjukkan pula bahwa regular people (orang-orang cem kita yang nggak terlatih ngadepin kondisi ekstrem) pun tetap punya chance untuk lolos dari kondisi tersebut.

Tipikal Ripley yang senang kasih contoh banyak kasus, di buku ini pun setiap fase yang dilalui oleh manusia selalu disertai dengan contoh kasus. Dari mulai ledakan kapal, teror 9/11, kecelakaan pesawat (ini lumayan banyak),  ferry yang tenggelam, penembakan, penyanderaan sampai ekstrem crowd dalam ibadah haji pun ada di buku ini. Duh, aku cinta banget sama tulisan Ripley semoga diana nulis buku ke-3.

Nggak akan bahas bab-bab dan tahapan yang diceritain Ripley karena pusing pala berbi nanti bisa banyak banget yang ditulis, jadi gw mau nulis kesan dan pesan yang dirasakan dan pelajaran yang bisa dipratikkan sebagai regular people.

***

Habis baca ini tuh perasaan jadi campur aduk. Pertama, gw ragu apakah setelah baca buku ini my survival odds jadi meningkat? Yah, namanya juga baca buku, mungkin membuat gw jadi sedikit well-informed, tapi tetep weh not well-trained. Kok malah jadinya banyak bayangan-banyangan parno. Meskipun gw akhirnya menghibur diri dengan meyakini bahwa semakin banyak informasi yang dimiliki, semakin baik ‘program’ sub-conscious dalam otak yang akan memungkinkan untuk bertindak tepat saat kondisi ekstrem (amit-amit sih nggak usah nemu kondisi ekstrem). Kedua, hormat gw menjadi berlipat-lipat untuk mereka yang selalu ada dalam kondisi ekstrem on daily basis. Mereka pasti well-trained karena itu kewajibannya, tapi pasti tetap nggak mudah. Sama pemadam kebakaran, tentara, tim SAR, polisi, pilot, pramugari, etc. Hands down! Lalu gw merasa terharu campur cedih *semua hal aja gw terharuin, hih!!* karena ada beberapa contoh kasus yang menunjukkan betapa berdedikasinya beberapa orang akan keselamatan orang lain, pasti banyaklah orang kayak gini di seluruh dunia. Entah merasa sebegitu perlunya untuk bertanggung jawab entah emang hatinya seputih salju. Contoh di buku ini salah satunya Rick Rescorla.

Rick Rescorla ini  wakil kepala keamanan di Morgan Stanley (MS). MS adalah tenant terbesar di gedung WTC, lebih dari 20 lantai dari WTC dioccupay oleh MS. Rescorla ini jebolan perang Vietnam, makanya dia super aware, sigap, reliabe, dan bertanggung jawab. Dia ini sangat keukeuh melakukan drill rutin untuk pegawai MS. Dia nggak mau tahu, pokoknya dalam kondisi emergency, semua pegawai MS harus bisa menyelamatkan diri. Bukan cuma pegawai, pengunjung/peserta training yang cuma datang ke MS sesekali pun tetep di briefing soal keselamatan diri. Rescorla dan kawannya bahkan punya skenario soal bagaimana teroris mungkin menyerang WTC. Dua-duanya terjadi, di mana satu dari dua skenario tersebut adalah pesawat yang menabrakkan diri. He knew it would happen.

Saat teror 9/11 terjadi. Rescorla kasi pengumuman pada semua pegawai MS untuk tetap tenang dan lakukan apa yang sudah dia latihkan selama ini. Pegawai di lantai yang lebih rendah, tunggu di sekitar tangga darurat dan nunggu mereka yang ada di satu lantai di atasnya sampai. Lalu sama-sama menuruni tangga dengan posisi pegawai dari lantai yang lebih tinggi berjalan di depan pegawai dengan lantai lebih rendah. Terus begitu. Mereka yang kerja di lantai lebih tinggi, dengan risiko lebih tinggi, harus dipastikan selamat. Di saat pegawai menuruni tangga darurat untuk menyelamatkan diri Rick dan beberapa petugas keamanan justru naik ke atas, memastikan semuanya berjalan dengan baik. At the end, when WTC collapsed, only 13 MS employees—including Rescorla and 4 of his security officers—were inside. Dan sisanya, 2687 pegawai MS berhasil selamat. Njrit hebat banget!! Dan saat peristiwa itu terjadi, Rick sempet nelpon istrinya, “Stop crying,” he said. “I have to get these people out safely. If something should happen to me, I want you to know I’ve never been happier. You made my life.”  How could this guy be so unselfish and self-sufficient??!  TISU MANA TISU?!?!

***

Sekarang gimana dong nasib kita sebagai regular people? Beberapa hal katanya sih bisa dilakukan, seperti:

Be informed. Pastikan kita punya informasi akan hal-hal yang penting, seperti di mana emergency exit dari suatu gedung - yang mana gw nggak pernah ngecek-. Entah di hotel kek, di gedung tempat kerja kek, di gedung yang sedang dikunjungi kalo ada acara kek. Sukur-sukur melakukan test drive. Jalan-jalan iseng nurunin tangga darurat di tempat kita sedang nginep misalnya. Perhatikan juga saat pramugari ngasih arahan di pesawat atau baca emergency card di pesawat. Ada satu kecelakaan pesawat, 5 dari sekitar 100an penumpang selamat. Kelima orang itu adalah mereka yang baca emergeny card dan tahu persis di mana lokasi pintu darurat. Saat kondisi buruk terjadi, sub-conscious program mereka yang bekerja, tetap tenang, nggak peduli sama bagasi kabin, dan langsung ke emergency exit terdekat.

Breathing. Intinya sih latihan pernafasan, mereka yang melakukan ini secara teratur (yoga kek, meditasi kek, latihan pernafasan doang kek) punya prefrontal cortex yang lebih tebal dari orang lain pada umumnya. Prefrontal cortex itu bagian otak yang mengendalikan emosi, perhatian (attention), dan working memory; semuanya berkaitan dengan stress control. Bukan cuma perkara prefrontal cortex yang menebal, karena ini sih efek jangka panjang kalau latihan pernafasan. Tapi terbiasa bernafas secara benar pada kondisi ekstrem (yaitu slowing down breath, ambil nafas - tahan nafas - buang nafas) membantu kita memperlambat ‘primal-fear-response’. Sederhananya, saat ada dalam kondisi ekstrem, respon kita yang utama adalah respon primitif yang sifatnya sangat fisik. Pembuluh darah mengecil sehingga kalau terluka akan mudah membeku darahnya, hormon tertentu dilepaskan sehingga ketika meninju orang bisa berkali-kali lebih kuat dari kondisi normal. Hal ini tentu saja nggak sepenuhnya baik karena otak ‘mengaktifkan’ pertahanan fisik, hal ini terkompensasi dengan penurunan fungsi lain. Fungsi yang dianggap nggak penting oleh otak akan dimatikan, jadi saat kondisi ekstrem ada yang bisa tiba-tiba muntah atau pup tanpa sadar. Iya, berarti digestive function dimatiin, karena nggak penting. Kerasa juga kan kalau lagi panik suga berasa bego? Ga bisa mikir kan? Apalagi kondisi ekstrem. Pilot pesawat tempur bisa ngalamin  IQ ngedrop separo saat akan melakukan tugasnya. Nah, slowing down breathing inilah yang bantu kita supaya emosi dan primitive defense nggak mendominasi, masih bisa mikir gitu.


Pokoknya pas baca buku ini sampe kagum-kagum sendiri. Kok bisa gini, kok bisa begitu. Buku ini pun menyitasi beberapa buku/sumber lainnya yang kayaknya seru buat dibaca.

No comments:

Post a Comment