10 September 2017

Tipikal Mental (Sebagian) Orang

Gw sempet beli buku berjudul Poor Economics *judul wajib disebut biar disangka orang bener*, tapi baru gw baca sedikit, terus berhenti karena ketemu bagian yang gw nggak paham, dan gw nggak berusaha buat memahami hal tersebut, yang ada malah nyari bacaan yang gampang seperti detikhot, lamtur, atau infotwitwor. Sebelum gw berhenti baca, gw sempat menemukan bagian di mana penulis mengungkapkan soal mengatasai kemiskinan dan foreign aid. Penulis menjabarkan dua orang ekonomis femeus yang punya pandangan berlawanan soal foreign aid, yang satu Jeffrey Sachs (pro) yang satu lagi William Easterly (anti). 

Sachs berpendapat kalau foreign aid itu perlu karena dia yakin bahwa sebagian orang (negara?) memang terjebak dalam kemiskinan, poverty trap, makanya perlu bantuan dari luar untuk narik mereka dari keadaan tersebut. Sedangkan Easterly berpendapat bahwa ga ada yang namanya poverty trap, ada kok negara (gw nggak inget contoh negaranya apa) yang awalnya kaya terus jadi miskin atau yang jadi miskin lalu jadi kaya lalu miskin lagi, dia merasa bahwa, kalau mau, negara (atau orang) akan selalu bisa melepaskan diri dari kemiskinan, kalau mau. Easterly menekankan pada kebebasan setiap orang untuk menentukan nasibnya. Kalau emang orang yang miskin ini merasa sekolah itu ga perlu, ya biarin aja mereka memilih untuk ga bersekolah, nggak usah diintervensi  oleh pihak luar, memang maunya mereka seperti itu. Tapi kemudian ada lagi yang berpendapat, apa orang yang miskin bisa mengambil keputusan yang baik untuk dirinya dan keluarganya dengan keadaan yang miskin dan kurang di sana-sini? Hmmm.

Cukup segitu aja pembukaannya. Gw cuma pengen ambil sedikit pendapat dari Easterly tentang kemiskinan. Biar aja orang-orang itu memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang akan dilakukan, apa keputusannya nanti ke arah mengeluarkan diri mereka dar kemiskinan atau engga, ya terserah mereka. Awalnya gw sempet mikir, pedes juga ya ni Easterly.  Tapi kemudian gw denger cerita dari emak gw yang bikin gw mikir bahwa Easterly ini ada benarnya. Latar belakang dulu yah, jadi emak gw ini setelah pensiun aktif di PKK lingkungan rumah gw. Doi jadi tahu peristiwa apa aja yang tejadi, program dari pemerintah untuk RW, dan keadaan sekitar di lingkungan rumah. Latar belakang lagi, gw tumbuh di lingkungan yang biasa aja. Bukan perumahan elit yang mana rumah-rumah di sini gede-gede dan peninggalan Belandan tapi juga bukan di lingkungan kumuh bak Slumdog Millionaire. Lingkungan gw menengah, meski kalau gw menurut gw lebih ke menengah ke bawah. Orang tajir melintir ada satu atau dua. Inget Cuanki Serayu yang femeus? Pemiliknya tetangga belakang rumah. Sebaliknya, bukan hal yang aneh juga kalau nemu keluarga di mana si kepala keluarga ga punya pekerjaan, apalagi istrinya. Jadi apa aja seadanya yang bisa dikerjain dan menghasilkan pemasukan, misalnya, jadi panitia acara anu, ngurus konsumsi untuk acara warga atau bikin spanduk hari raya idul fitri tiap tahun. Beberapa orang nolak dengan sangat ide menggunakan spanduk yang sama dari tahun ke tahun di mana tulisan tahun hijriyah bisa ditempel pake lakban atau kertas spotlight dan lain-lain, kekeh pokonya harus bikin spanduk tiap tahun *if you know what i mean* *korupsiong kecil-kecilan ada di semua lini kehidupan* *rolling eyes*

Eniwei. balik lagi soal pendapat Easterly soal oposisi foreign aid atau kalau disesuaikan dengan konteks tempat tinggal gw, ya bantuan secara umum, bukan spesifik foreign aid.

Setelah denger berbagai cerita emak gw soal kelakuan warga, gw kadang mikir, mungkin Easterly emang bener, ga ada yang namanya poverty trap, yang mau keluar ya silakan, yang mau tetap berkubang gitu-gitu juga biarin aja. Kenapa gw mikir gitu? Karena banyak kejadian yang mengindikasikan bahwa ada sebagian orang yang memang sengaja menjaga status 'ga mampu' supaya mereka tetap eligible untuk dapat bantuan dan subsidi ini itu. Gemes-gemes-kesel deh dengernya. Beberapa orang sadar, bahwa ketika mereka melewati threshold tertentu, mereka bukan lagi ada di kategori ga mampu, mereka ga akan bisa nerima subsidi ini-itu dan mereka ga pengen hal itu terjadi. Banyak orang yang emak gw temui bahkan ga mau bersusah payah ngurus akte kelahiran untuk anaknya, ketika emak gw (dan geng PKK) mendata, tanggapan pertama yang banyak dia dapat, 'Oh, kenapa di data? Mau ada bantuan ya?'

Bbbbzzzttt.

Dan ketika ditanya kenapa anaknya ga dibuatkan akta kelahiran padahal hal tersebut penting, jawabannya, 'Ah da teu gaduh artos kangge ongkos.' ('Ah, nggak punya uang untuk ongkos.' -> maksudnya ongkos transportasi). Tapi ketika lu ngeliat kelakukan orang tuanya, si suami nggak punya kerjaan tapi terus klepas-klepus ngerokok nggak kelar-kelar, si istri berpakain secara proper dengan perhiasan lumayan dan handphone android beserta paket data. Nggak jarang dengan keadaan si anak yang kurus banget. Kalau udah gini kesel nggak sih orang/pihak yang datang dengan hati ringan dan awalnya pengen membantu? Orang yang pengen dibantu pun nggak ada usaha mengeluarkan diri dari keadaa dia yang sekarang, yang penting tetap eligible untuk segala bentuk bantuan.

Ada juga hal lainnya (nggak berhubungan dengan poverty trap, Easterly, atau bantuan/subsidi) yang bikin dahi mengernyit terus akhirnya, 'Ini keadaan kayanya udah ga bisa dibenerin. Terserahlah. Terserah!!!' Pernah di suatu waktu dilakukan pendataan septic tank (orang-orang negara maju mungkin ada yang ketawa, 'Masih pake septic tank?' Ngok!) Ada keluarga yang tinggal di dekat tanggul *pasti pembaca sudah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi* dan yang mereka lakukan adalah 'plung' langsung dari WC masuk ke kali. Ketika ditanya, jawabannya kurang lebih, 'Gimana dong? Udah enak kayak gini, langsung semuanya ke kali. Buat apa coba pake septic tank?'


Gw juga nggak tahu sebenarnya pendekatan yang bener kayak apa untuk nyelesaiin hal-hal seperti ini. Ini malahan gw jadi inget omongan salah satu dosen gw yang super sinis, 'Tembakin aja satu-satu orang-orang yang ada, biar mulai lagi semuanya dari awal.' Kzl nyettt :))))). Dulu pas kuliah tersinggung sama omongan doi, sekarang sih ketawa-ketawa sambil bilang, 'He has a point.'

Mungkin ada baiknya gw baca dulu buku tersebut sampai tamat, jangan-jangan si penulis sebenarnya punya ide mengenai solusi mumpuni mengatasi mentaliti orang-orang yang seperti ini.

2 comments:

  1. Replies
    1. "Duh, kalian ini bodo-bodo ya, udah sana pada loncat aja bunuh diri."


      Setannn!!!

      Delete