09 October 2016

TEDxNTU

Kemarin, gw datang TEDxNTU. Ya, ibaratnya TED rasa lokal. Bukan berarti pembicaranya kheseus orang Singapura, lokal di sini maksdunya organized independently dengan lisesnsi di bawah TED. Tentunya dengan ekspektasi setinggi langit karena selama ini termasuk gemar menonton video TED dan juga TEDx. Ya kalaupun ternyata ekspektasi tidak terpenuhi, ya udahlah, dapet makan gratis :))))). Ekspektasi terpenuhi nggak? Nggak. Hahahahaha, tema yang diangkat adalah Through the Looking Glass. Di kemajuan jaman yang seperti ini, kita dibombardir oleh berbagai informasi, entah mana yang benar atau salah, entah mana yang diserap atau engga, gimana supaya bisa objektif dalam menerima dan menyaring, juga mempertanyakan semua informasi yang kita terima. Gimana kita bisa melihat sesuatu secara sebenar-benarnya, lebih jelas dan apa adanya. Kurang lebih begitulah tema dan ekspektasi yang gw harapkan.

Acaranya sendiri dibagi tiga sesi, sesi pertama, isokey; sesi kedua, pret; sesi ketiga okelah. Ada pembicara yang membuat gw mengernyit karena buat gw secara pribadi tema yang dia bawakan kayaknya kurang cocok. Ada pembicara yang bikin gw pening mayanti karena aksen aslinya dia kentel banget gw nggak bisa ngerti apa-apa *ini salah gw sih* dan gestur dalam membawakan presentasi kurang oke *yakali dese nerveus, 1600 orang penonton*

Okelah, gw mau ceritain hal yang mayan oke.

Speaker pertama dan kedua mayan oke. Speaker pertama ahli komunikasi *no wonder* speaker kedua scientist. Dari dua talks ini sejujurnya nggak ada hal baru yang gw pelajari *njrit sombong* tapi tetep bagus sebagai pengingat untuk menjauhkan diri dari bias-bias pemberitaan dan bisa nyaring informasi dengan baik. Pembicara pertama ngomongin bagaimana kita melihat risiko lalu mengomunikasikan hal tersebut. Ada hal yang komposisi antara probabiliti dan magnitudenya: rendah dan rendah, rendah dan tinggi, tinggi dan rendah, tinggi dan tinggi. Boleh jadi ada hal yang besaran dampaknya tinggi tapi kemungkinan terjadinya kecil, tapi bisa bikin dunia ini huru-hara, gara-gara cara mengomunikasikannya. Risiko yang sbenarnya bisa tampak lebih kecil atau lebih besar akibat cara mengomunikasikannya.

Pembicara kedua, seorang dokter hewan. Ngomongin angka dan fakta tentang resistensi antibiotik, kurang familiar apalagi coba. Fakta-fakta yang gw inget di antaranya, setiap tahun 700000 orang meninggal akibat antibiotik resistan dan kalau nggak ada tindakan yang diambil, pada tahun 2050 akan ada 10 juta orang meninggal akibat antibiotik resistan. Saking pentingnya hal ini, Sidang Umum PBB sampe bahas masalah ini, bok padahal mereka kan biasa bahas ekonomi, perdamaian dunia, atau isu HAM. Selain itu, 15-25 % antibiotik masing-masing diberikan kepada orang yang sakit dan juga binatang yang sakit, sisanya? dipake untuk boosting pertumbuuhan hewan yang sehat. Seberapa bahaya sih antibiotik untuk boosting pertumbuhan hewan? Ada satu tipe antibiotik *ai lupa namanya* yang suatu waktu diapproved untuk diberikan kepada manusia, sepuluh tahun kemudian, antibiotik itu diapproved untuk digunakan pada hewan. Selama sepuluh tahun setelah antibiotik tersebut legal digukana oleh manusia, nggak ada satu kasus resistensi dari antibiotik tersebut, begitu approval diberikan agar antibiotik tersebu bisa diberikan kepada hewan, kasus antibiotik resistensi langsung bermunculan. Tahulah gimana sembarangannya dosis yang diberikan pada hewan peliharaan ketika para petani ngasih antibiotitk.

Video di bawah ini ngasih ilustrasi gimana powerfulnya bakteri dalam hal mutasi gen yang bikin mereka resisten terhadap antibiotik. Cuma perlu 11 hari bagi bakteri untuk bisa menghandle dosis antibiotik yang konsentrasinya 1000 kali konsentrasi awal.

  

Terus apa hubungannya komunikasi mengenai risiko dan bakteri-bakteri tersebut dengan topik looking through glass? Gw juga nggak yakin, ngira-ngira doang, bahwa kita punya banyak bias dan prejudice akan informasi yang kita terima hanya karena hal tersebut dikomunikasikan dengan suatu cara. Atau kadang kita bisa lupa dan bias melihat bahwa masalah terorisme (dan pengungsi) dirasa ancaman yang pertama dan utama, padahal berapa banyak orang mati per tahun akibat terorisme? Tahun 2010 ada sekitar 13 ribuan orang mati akibat terorisme, sedangkan saat ini ada 700000 orang per tahun mati akibat antibiotik resistensi, mak!! Ini nyata!! Inget kan omongan Trump Jr. tentang Skittels dan imigran asal Syria?  Kurang lebih begitulah manusia dalam menyikapi dan menimbang risiko.

Masuk sesi tiga, pembicara terakhir ngomongin tentang migrant worker, penekanannya ke unskilled labor, lebih spesifiknya para pekerja konstruksi yang kebanyakan dari India.  Tahu kan ya, selama ini gw sering ngalamin dipepet mamang-mamang indihe, ditanya nomor telepon, umur, udah kawin dan punya anak apa belum, sampai dibuntutuin ketika lagi di dalam mol, dan yes, itu ngeselin dan agak creepy. Ofkors, gw jadi punya prejudice tersendiri terhadap mereka. 

Di sini dia memaparkan betapa susahnya kehidupan mereka, dengan gaji kecil, tempat tinggal yang nggak layak, makan seadanya, jam kerja panjang supaya punya kehidupan yang layak. Dan setiap ada kecelakaan, concern dari para employer adalah mengenai berapa jam kerja yang hilang, gimana projek yang sedang dikerjakan dan nggak ada yang peduli gimana keadaan pekerja yang celaka atau adakah employer yang udah menghubungi keluarga mereka. Ada suatu waktu si speaker ini melihat dua orang pekerja kasar (gw lupa entah mereka lagi di mana) pake baju rapi lalu pose duduk manis di ruang tengah, lalu pose masak sambil mereka bergantian ngambil foto yang ternyata akan dikirim ke keluarganya di India. Cuma untuk menunjukkan mereka punya kehidupan yang layak dan hepi.  

Di awal presentasi, dia menunjukkan video di mana ada mean tweet mengenai para migrant worker yang dibacakan di hadapan mereka. Salah satunya adalah tentang pekerja konstruksi yang masuk publik transport setelah bekerja, the mean twit said that they're smelly and the person questioning whether these workers know how to shower or not. Hati gw patah pas liat reaksi dan raut muka pekerja kasar tersebut pas tweet itu dibacain.

Setelah gw liat presentasi terakhir ini, prejudice gw akan mereka kayak diputer 180 derajat. Apakah gw akan tetap waspada terhadap mereka? Ya. Apa gw akan tetap berhati-hati terhadap mereka? Pasti. Tapi gw kayak disadarkan bahwa beberapa dari mereka memang bikin gw kesel dan punya pengalaman jelek sama mereka, tapi nggak berarti mereka semua seperti itu. I have a whole new appreciation toward them.

Untuk orang yang punya uang, Singapura itu memang cerminan kesempurnaan. Negara kecil, padat, pembangunan sukses, fasilitas bagus, segala ada. You can experience whatever you want. Tapi cuma untuk mereka yang punya uang, di balik semuanya, it's a real battlefield for migrant construction workers. The speaker said, that for us, living in Singapore is like living inside the glass itself, and these workers could only see from the outside of the glass. Sebenernya ya apa bedanya gw sama mereka, I was just a bit lucky, I had  a proper education so I can secure a better job, other than that, me and them are just the same. We are migrant workers looking for better opportunity and life. 

Pada akhirnya, meskipun ekspektasi ga terpenuhi, tapi tetap bahagia dengan makanan gratis yang enak *cetek* dan tetep ada hal yang bisa dipelajari. Behubung, semboyan TED ini ideas worth spreading, maka gw merasa perllu untuk menyebarkan apa yang udah gw dapat, semoga bermanfaat, tring *kedipin mata sebelah*

1 comment:

  1. iya bermanfaat mba :)
    Dan jadi pengen datang ke Tedxntu..

    ReplyDelete