Secara umum, suka dengan bukunya, tapi kalau dibanding dengan Outliers, gw masih lebih suka outliers sih. Itu tuh ibaratnya pembuka mata banget nget nget nget, kayak ditampar, ’Oy, get real woyyy!!!’ Tapi tetep sih, buku ini bagus sekali, worth to read.
Di buku ini, contoh pertama yang Gladwell ambil tentang beberapa orang yang dengan sekejap mata bisa mengetahui apakah sebuah patung asli atau palsu, ketebaklah. Mereka bisa tahu asli atau nggak karena mereka udah sangat pengalaman di bidangnya. Pun dengan tennis coach yang hampir selalu tahu dari awal petenis ancang-ancang, apakah dia akan melakukan double fault apa engga, saking udah enegnya seumur hidup berkubang dalam dunia tenis. Ya mirip-miriplah sama temen gw yang hobinya, ’Ning, liat yang pake jaket orange? Berani taruhan berapa? Gw yakin dia hombreng.’ Dan dese selalu bener tiap tebak-tebak mana hombreng mana yang straight.
Ini apaan sih ujug-ujug tebak-tebak berhadiah mana yang hombreng mana yang straight? Hehehehehe, jadi sebenernya buku ini menceritakan tentang bagaimana kita bisa membuat snap judgment, ibarat kata menggunakan intuisi untuk menilai sesuatu di dua detik pertama, tsahhhh. Makanya tagline bukunya tuh ‘The power of thinking without thinking.’ Pas temen gw nanya gw lagi baca buku apa, terus gw sebut judul dan tagline-nya, yang ada malah diketawain. Iya sih, tagline-nya agak alay, kesannya mau pake indra ke-6 apa gimana gitu, ngok.
Eniwei, kalau menurut kesimpulan awam gw sih, snap judgment bisa akurat itu karena jam terbang. Kalau itu memang bidang elu, dan elu udah makan asam garam kehidupan dalam bidang tersebut, ya gampang aja. Intuisi udah terasah, jam terbang memang nggak bisa bohong. Makanya ada orang yang bisa tahu dalam sekejap tanpa nyentuh, kalau suatu patung nggak asli. Lalu ketika diminta alasannya cuma jawab ,’Entahlah, tapi Saya tahu ada yang salah dengan patung ini, ada sensasi aneh di perut Saya.’ Lha, elu sebenernya sedang menilai patung atau habis nenggak Bon Cabe level 10?!?!
Nah, yang repot kalau snap judgment yang dibuat adalah sesuatu yang nggak kita sangka-sangka. Sesuatu yang nggak pernah kebayang sebelumnya, yang benar-benar di luar dunia kita, priye?
Nah, ada sedikit pesan penting dari Blink yang bisa ditemukan di afterword-nya, seperti merangkum dan menyimpulkan maksud dari buku ini.
Ketika kita ingin memulai untuk membuat sebuah instinctive decision, kita harus bisa ‘memaafkan’ meraka yang ada dalam kondisi tertentu, karena tanpa ‘memaafkan’, sebuah good judgment menjadi terancam. Ini terjemahan campur sari, karena kadang bingung mau nerjemahin pake bahasa yang pas itu gimana caranya. Maapken, kemampuan terbatas. Kalau yang gw tangkap sih intinya adalah lepaskan segala prasangka, dimulai dari nol yaaaa. Seperti kisah sukses seorang sales mobil. Dia sukses besar karena dia selalu memberi pelayanan yang sama baiknya pada semua pelanggan. Pake celana pendek kek, bau kambing kek, bergelimang emas kek, laki, perempuan, kulit hitam atau putih. Karena pada kenyataanya, banyak sales yang akan mematok harga lebih tinggi ketika seorang yang datang adalah perempuan atau mereka yang berkulit hitam. Kenapa? Karena perempuan dan orang kulit hitam dianggap bodoh, bisa ditipu-tipu. Jadi jangan sampai kita 'dibutakan' oleh kondisi/penampakan sesuatu/sesorang sehingga judgment yang dibuat jadi kacau.
Nah, yang satu ini adalah kesimpulan favorit gw. Seringkali kegagalan dalam membuat keputusan diakibatkan karena terlalu BANYAK informasi yang diketahui. Iya, TERLALU BANYAK. Salah satu ilustrasi yang diambil adalah tentang patung tersebut. Bahwa ketika pihak museum dihujani berbagai informasi (puluhan bahkan ratusan lembar analisis ahli geologi dan arkeologis, dokumen legal pendukung, dsb, dsb.), justru disitulah mereka gagal membuat judgment yang benar. Ketika beberapa ahli patung diminta datang, dalam dua detik pertama mereka langsung memberi judgment yang tepat. Ingat blind audition the voice? Awal proses audisi seperti itu sudah dimualai sejak lama, biasanya untuk rekrutmen tim orkestra. Kenapa hal ini baik? Karena juri hanya akan mengandalkan pendengaran, bukan pengelihatan. Hanya informasi berupa audio yang didapat, tidak berlebihan.
Ada bagian yang ingin gw kutip.
Nah, ini bagian paling penting: ‘When to blink and when to think. Di bagian ini gw masih rada skeptis sama saran yang dia kasih. Saran yang dia kasih kurang lebih mengutip ucapannya Sigmund Freud.
Gila nggak tuh? Menurut ngana?! Terus ibarat kata gw diajak kawin gw nggak perlu pikirin pros and cons-nya gitu? Mending kalau yang ngajaknya Adam Levine.
YHA.
Nah, sekarang silakan masyarakat yang menilai. When you want to blink or think. Tapi ada baiknya untuk mampir ke penelitian yang dilakukan oleh psikolog asal Landa, A.P. Dijksterhuis yang berjudul Think Different: The Merits of Unconscious Thought in Preference Development and Decision Making. Di awal tulisannya dia mengutip omongan Freud tersebut. Setelah itu, silakan, you decide, do you want to blink or think?
Di buku ini, contoh pertama yang Gladwell ambil tentang beberapa orang yang dengan sekejap mata bisa mengetahui apakah sebuah patung asli atau palsu, ketebaklah. Mereka bisa tahu asli atau nggak karena mereka udah sangat pengalaman di bidangnya. Pun dengan tennis coach yang hampir selalu tahu dari awal petenis ancang-ancang, apakah dia akan melakukan double fault apa engga, saking udah enegnya seumur hidup berkubang dalam dunia tenis. Ya mirip-miriplah sama temen gw yang hobinya, ’Ning, liat yang pake jaket orange? Berani taruhan berapa? Gw yakin dia hombreng.’ Dan dese selalu bener tiap tebak-tebak mana hombreng mana yang straight.
Ini apaan sih ujug-ujug tebak-tebak berhadiah mana yang hombreng mana yang straight? Hehehehehe, jadi sebenernya buku ini menceritakan tentang bagaimana kita bisa membuat snap judgment, ibarat kata menggunakan intuisi untuk menilai sesuatu di dua detik pertama, tsahhhh. Makanya tagline bukunya tuh ‘The power of thinking without thinking.’ Pas temen gw nanya gw lagi baca buku apa, terus gw sebut judul dan tagline-nya, yang ada malah diketawain. Iya sih, tagline-nya agak alay, kesannya mau pake indra ke-6 apa gimana gitu, ngok.
Eniwei, kalau menurut kesimpulan awam gw sih, snap judgment bisa akurat itu karena jam terbang. Kalau itu memang bidang elu, dan elu udah makan asam garam kehidupan dalam bidang tersebut, ya gampang aja. Intuisi udah terasah, jam terbang memang nggak bisa bohong. Makanya ada orang yang bisa tahu dalam sekejap tanpa nyentuh, kalau suatu patung nggak asli. Lalu ketika diminta alasannya cuma jawab ,’Entahlah, tapi Saya tahu ada yang salah dengan patung ini, ada sensasi aneh di perut Saya.’ Lha, elu sebenernya sedang menilai patung atau habis nenggak Bon Cabe level 10?!?!
Nah, yang repot kalau snap judgment yang dibuat adalah sesuatu yang nggak kita sangka-sangka. Sesuatu yang nggak pernah kebayang sebelumnya, yang benar-benar di luar dunia kita, priye?
Nah, ada sedikit pesan penting dari Blink yang bisa ditemukan di afterword-nya, seperti merangkum dan menyimpulkan maksud dari buku ini.
Ketika kita ingin memulai untuk membuat sebuah instinctive decision, kita harus bisa ‘memaafkan’ meraka yang ada dalam kondisi tertentu, karena tanpa ‘memaafkan’, sebuah good judgment menjadi terancam. Ini terjemahan campur sari, karena kadang bingung mau nerjemahin pake bahasa yang pas itu gimana caranya. Maapken, kemampuan terbatas. Kalau yang gw tangkap sih intinya adalah lepaskan segala prasangka, dimulai dari nol yaaaa. Seperti kisah sukses seorang sales mobil. Dia sukses besar karena dia selalu memberi pelayanan yang sama baiknya pada semua pelanggan. Pake celana pendek kek, bau kambing kek, bergelimang emas kek, laki, perempuan, kulit hitam atau putih. Karena pada kenyataanya, banyak sales yang akan mematok harga lebih tinggi ketika seorang yang datang adalah perempuan atau mereka yang berkulit hitam. Kenapa? Karena perempuan dan orang kulit hitam dianggap bodoh, bisa ditipu-tipu. Jadi jangan sampai kita 'dibutakan' oleh kondisi/penampakan sesuatu/sesorang sehingga judgment yang dibuat jadi kacau.
Nah, yang satu ini adalah kesimpulan favorit gw. Seringkali kegagalan dalam membuat keputusan diakibatkan karena terlalu BANYAK informasi yang diketahui. Iya, TERLALU BANYAK. Salah satu ilustrasi yang diambil adalah tentang patung tersebut. Bahwa ketika pihak museum dihujani berbagai informasi (puluhan bahkan ratusan lembar analisis ahli geologi dan arkeologis, dokumen legal pendukung, dsb, dsb.), justru disitulah mereka gagal membuat judgment yang benar. Ketika beberapa ahli patung diminta datang, dalam dua detik pertama mereka langsung memberi judgment yang tepat. Ingat blind audition the voice? Awal proses audisi seperti itu sudah dimualai sejak lama, biasanya untuk rekrutmen tim orkestra. Kenapa hal ini baik? Karena juri hanya akan mengandalkan pendengaran, bukan pengelihatan. Hanya informasi berupa audio yang didapat, tidak berlebihan.
Ada bagian yang ingin gw kutip.
We live in a world saturated with information. We have virtually unlimited amount of data at our fingertips at all times, and we’re all versed in the arguments about the dangers of not knowing enough and not doing our homework. But what I have sensed is an enormous frustration with the unexpected cost of knowing too much, of being inundated with understanding.
Nah, ini bagian paling penting: ‘When to blink and when to think. Di bagian ini gw masih rada skeptis sama saran yang dia kasih. Saran yang dia kasih kurang lebih mengutip ucapannya Sigmund Freud.
When making a decision of minor importance, I have always found it advantageous to consider all the pros and cons. In vital matters however . . . the decision should come from the unconscious, from somewhere within ourselves. —Sigmund Freud-
Gila nggak tuh? Menurut ngana?! Terus ibarat kata gw diajak kawin gw nggak perlu pikirin pros and cons-nya gitu? Mending kalau yang ngajaknya Adam Levine.
YHA.
Nah, sekarang silakan masyarakat yang menilai. When you want to blink or think. Tapi ada baiknya untuk mampir ke penelitian yang dilakukan oleh psikolog asal Landa, A.P. Dijksterhuis yang berjudul Think Different: The Merits of Unconscious Thought in Preference Development and Decision Making. Di awal tulisannya dia mengutip omongan Freud tersebut. Setelah itu, silakan, you decide, do you want to blink or think?
No comments:
Post a Comment