12 July 2015

Embrace Solitude

Gitu kata artikel yang ditulis di sini. Baca dua paragraf pertama langsung setuju, bunyi dari paragraf tersebut adalah:
I got a Skype call from one of my Indonesian friends a couple of months ago. She confided in me about being uncomfortable and hurt by her friends who made fun of her, because she had been practicing solitude of late.
“I was called a loner and I hate it! I don’t think Indonesia is a safe place for seekers of solitude like us.”
Akurat.

Gw inget, pada masanya, I have always flocked with others. Kemana-mana bareng-bareng, bergerombol. Pengen pergi-pergi sendiri tapi takut. Bukan, bukan takut diciduk dimasukkin ke dalam karung terus diculik *yang nggotong karungnya juga ga bakal kuat, bwek!!*, tapi takut terlihat menyedihkan. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, hal yang sebenarnya menyedihkan justru karena kita takut terlihat menyedihkan, ye nggak? *ruwet* Paling banter, keberanian gw cuma di level pergi ke toko buku sendirian dan paling anti pergi makan sendirian. Mending take away deh makanannya. Kebayangnya pas lagi duduk makan sendiri dan bangku lain keisi paling enggak sama dua orang, maka semua mata pengunjung akan memandang gw dengan tatapan sedih.

Padahal keinginan terdalam adalah duduk makan sendiri atau ngopi-gopi sambil bengong planga-plongo merhatiin orang-orang atau -bener kata penulis artikel di atas- just wander around aimlessly then stop anywhere sit and take moment enjoying yourself without companion and observe anything, or just doing nothing, completely nothing. Tapi, lagi-lagi, gw merasa takut 1) takut orang-orang lain yang nggak dikenal memandang sedih, pitying me  2) takut ketemu orang yang gw kenal yang kemungkinan besar nggak mungkin jalan sendiri kemudian percakapan yang terjadi adalah:

dese: eh bening lagi ngapain?
me: nggak ngapa-ngpain, lagi jalan aja.
dese: sama siapa?
me: sendirian?
dese: kok sendirian sih? *diiringi tatapan iba*

Bbbzzzttt.

Lagi-lagi, gw setuju sama tulisan di artikel tersebut, ya emang begitu adanya kalau tinggal di negara/lingkungan dengan close-knit community, ye nggak? Emang nggak ada yang salah, kalau gw rasa ya memang di Indonesia kulturnya begitu (individualisme kita kan sangat rendah), pasti ada untung ruginya. Kekeluargaan dan pertemanan yang akrab emang baik, ya mun cek cenah mah kan menjalin silaturahmi, tapi (selalu ada 'tapi' dalam segala hal) ya nggak perlu memandang menyedihkan juga sama orang yang memang sedang embracing solitude atau pada dasarnya memang senang menyendiri. Dan bener banget, banyak karya besar lahir dari solitude tersebut, kayaknya hampir semua scientist melahirkan karya hasil pemikiran mendalam saat menyendiri, bukan saat flocking together berisik cekakakan (meskipun dalam beberapa hal banyak kepala lebih baik dari satu kepala). Begitu juga dengan Wozniak, Dickens, Dr. Seuss dan masih banyak lagi. 

Pas di Landa barulah gw meletek. Naik kereta sendiri, mau ke mana? Ya kadang ke mana aja. Duduk mepet jendela, merhatiin lansekap di luar yang sedap buat diliat (meskipun lama-lama membosankan), terus berhenti di mana pun cuman buat ngopi terus makan kukis sambil planga-plongo, merhatiin orang, mikirin kemajuan bangsa  hidup gw kok nggak maju-maju. Atau jalan nyusurin kanal, berhenti duduk, planga-plongo terus nanti tiba-tiba mewek for no reason, bhahakakkkaka, ya kalau di Ams sih sambil ngirup bau-bau kanabis di sepanjang jalan, lumayanlah biar bikin hepi dan boosting mood. Setiap gw bilang gw suka sama Wage karena tempatnya yang kecil, no excitement, damai, isinya sebagian besar mahasiswa dan nggak ada hingar bingar metropolitannya sama sekali, nggak ada yang mandang aneh, seringnya malah dapat saran untuk ngunjungin tempat yang sejenis. Yang nggak terlalu besar, nggak hitz, dan damai. I ended up like those places, like Haarlem for instance.

Paling sering sih sepedaan ke arboretum terdekat, duduk di kursi yang ada di tengah-tengah, wis ngono thok.



Mengutip artikel tersebut 'Practicing solitude is simple. It could be done by taking a walk, going nowhere in particular, shutting off your phones, withdrawing from the social media, and, if possible, meditating.' Beberapa orang mungkin merasa nggak bisa melakukan hal tersebut. Ya nggak bisa aja, mungkin embrace solitude is just not their thing. Merasa nggak mungkin kalau pergi ke mana gitu tanpa ada yang nemenin atau menarik diri (sementara) dari hingar bingar kehidupan, they just can't. But for at least you can try this thing I found from Notes Of Belin's Instagram:


Let's embrace solitude.

3 comments:

  1. hello, its my first time i visited your blog, i thinks its greatfull blog..
    please visit my blog http://metware.blogspot.com/

    ReplyDelete
  2. @bos danang: nah kan, tapi di sini susah mau embrace solitude, paling dikira aneh :)))

    ReplyDelete