Tadi lagi scrolling timeline twitter dan nemu foto ini:
Inti yang gw tangkap dari foto ini adalah jangan setengah-setengah. Teriak-teriak lawan/anti korupsi tapi SIM masih nembak, apply visa atau passport pake calo, ke KUA juga kasi pelicin biar cepet. Oke, gw paham, bahwa sebagian orang akan mengaggap lu tuh cuma sok-sokan doang atau hipokrit ketika teriak 'lawan korupsi' untuk kasus korupsi besar tapi masih terlibat dalam korupsi kecil-kecilan.
Gw sebel setengah mati sama mereka yang korupsi makanin duit rakyat. Tuh, dana-dana siluman dan tender-tender bodong yang nilainya sampai trliunan, yang kalau dibeliin kerupuk bisa kasih suplai buat seluruh warga Indonesia sampai enek. Gw sebel setengah mati, tapi gw juga akui kalau gw pun nggak bisa menghindari praktik-praktik korupsi kecil-kecilan dalam kehidupan sehari-hari. It's just so damn hard to avoid this kind of practice entirely. Terserahlah kalau gw mau dibilang hipokrit, nggak konsisten atau apalah. Tapi sistem yang kita punyalah -yang luar biasa kayak eeque- yang kadang bikin kita ada lingkaran korupsi kecil-kecilan tersebut.
Oke, kembali ke 2011. Saat di mana gw akan berangkat ke Belanda. Jadi, kalau kalian bertaya-tanya kenapa sih birokrasi kita ribet? Gw rasa, salah satunya adalah warisan penjajah kita, pfffttt. Birokrasi mereka kan lumayan ribet, hierarki juga ada, dan hobinya bikin appointment untuk menentukan appointment selanjutnya. Ruwetlah.
Eniwei, salah satu syarat pada saat itu adalah akta kelahiran dengan bahasa Inggris. Terserah itu akta mau diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah atau minta dicetakkan akta baru dari pencatatan sipil. Pada saat itu, tahun 2011, ternyata bayi yang baru lahir mendapat akta kelahiran dua bahasa, jadi dalam satu akta sudah memuat bahasa Inggris dan Indonesia. Wih, kayaknya oke nih, ya udahlah minta catatan sipil ngeluarin akta baru aja buat gw. Terus pas nyampe di sana, babeh gw bilang -iya, yang pertama ke catatan sipil babeh gw, waktu itu gw masih di Jakarta- kalau petugasnya malah marah-marah, 'Hah, dasar Belanda. Emang urusannya bikin ribet, harus pake terjemahan segala...blablablablla.' Udah ngomel-ngomel nggak jelas nggak mau ngebantin pulak. Kotoran!! Petugas macam apa itu? Kalau jaman dulu walikota udah Emil, kayaknya gw aduin via Twitter biar mamfus!!! Intinya, kalau kita mau bikin akta kelahiran baru yang bilingual, prosesnya akan ribet luar biasa. Lebih tepatnya: dibikin ribet!!! Terus, setelah googling sana-sini, gw dapat info kalau emang prosedurnya kayak eeque, jadi hal yang paling praktis adalah datang ke catatan sipil, bilang mau bikin akta baru karena akta lama hilang. Keselip kek, ilang pas pindah rumah kek. Pokoknya bilang ilang dan minta yang baru. Dengan kayak gini prosesnya jauuuuhhhhh lebih mudah, meskipun tetep ribet karena gw musti minta data gw ke balai kota. Gw nggak ngertilah sistem pengarsipan kita kayak gimana.
Apakah setelah itu perkara beres? tentu saja.....TIDAK!!! Duit pelicin dong. Jadi, proses resmi sampai akta selesai adalah x hari, setelah x hari gw kontak mereka tapi akta gw belum selesai karena belum dicap dan ditandatangani. Katanya sih, yang berwenang nandatangan lagi nggak di tempat. Gw teror terus dong dengan sesering mungkin nelpon, tapi selalu aja ada alasan yang bilang kalau belum ditandatangi. Yaudahlah, masa' sampai waktu keberagkatan itu akta belum beres, kaga jadi sekolah apa gw? cih!! Akhirnya gw keluarkan jurus pamungkas, ya gw sogok pake duit pelicinlah. Begitu gw bilang nanti gw kasih duit tambahan, keajaiban terjadi. Siangnya dokumen tersebut beres dan bisa diambil. Wow...money talks.
Habis itu keribetan belum beres *lirik KZL sama Belanda*, si akta kelahiran harus dilegalisir sama Kemenlu dan Dephumkam. Yassalammm, daripada berurusan sama birokrasi kayak gitu, gw mending disuruh sidang sarjana sepuluh kali deh!!! *tapi bohong :)))* Gw udah tahu dari pertama itu bakal ribet, gw pasti bakal diping-pong ke sana kemari oleh petugas-petugas jahanamiyah, disuruh datang bolak-balik. Hakul yakin menguras duit (pada saat itu gw udah balik ke Bandung), emosi, dan energi. Yaudahah, gw bawa itu akta kelahiran menuju....calo!!! Jadi, di internet, banyak informasi mengenai calo yang terpercaya dan bisa nolong lo untuk urusan legalisir dengan cepat. Yowis, gw drop dokumen di calo tersebut dan beberapa hari kemudian semua beres dan gw tinggal ambil.
Jadi, apakah gw terjerat dalam lingkaran korupsi? Sadly, yes. Dan gw sadar, mau gw kasih excuse apa pun, tetep aja itu tindakan yang salah, tapi tetep gw mau kasih excuse. Kalau udah birokrasi kayak eeque and we don't have so much time in our hands, terus kudu priye? Kalau birokrasinya nggak ribet dan petugasnya helpful, ya nggak akan juga lah gw pake calo dan sogok sana-sini. Kayak proses bikin paspor. Udah sangat bagus dan praktis kalau gw bilang. Meskipun antrian bisa mengular parah, tapi karena sistemnya udah jelas dan paspor pun selalu selesai tepat waktu, yowis, urus sendiri di jalan yang benar.
Kok waktu gw ngurus tuh akta lancar jaya ya? Emang prosesnya ampe 2 minggu, tapi gw cukup bayar biaya administrasi resmi. Trus yang legalisir dephumham n deplu juga harga dan lama pengerjaan sesuai ketentuan. Yang pas di deplu malah dengan alasan gw ga mau bolak balik Jkt-Bogor, pagi masukin, sore udah bisa diambil #rejekianakshalehah. Termahal tuh harga legalisir kedubes belanda, edyan ampir 4oorb sendiri!
ReplyDeleteOiya? HIH!! Berarti kalau bikin akta tergantung petugas di daerah masing-masing dan peruntungan. Gara-gara pengalaman bikin akta itu gw jadi trauma mendalam mau legalisir ke kemenlu dan depkumham *halasan* :))))
ReplyDeleteHalo Mba Bening, senang sekali bisa ketemu blog nya Mba, kebetulan tahun ini saya akan mulai berkuliah di WUR dan sedang mengurus legalisir akta kelahiran berbahasa Inggris.
ReplyDeleteAda yang mau saya tanyakan mengenai akta kelahiran ini: apakah akta ini diperlukan untuk mengurus dan mengambil MVV dan Visa di Kedubes Belanda di Jakarta, ataukah akta kelahiran ini baru kita perlukan saat sudah tiba di Wageningen?
Karena barusan saya mengisi form WUR Statement dan antecedents certificate untuk IO, namun di form tersebut tidak menyebutkan tentang akta kelahiran sama sekali.
Pengalaman Mba Bening dulu bagaimana ya? mungkin bisa sedikit sharing. Thanks in advance ya Mba :)
Halo Imelda,
ReplyDeleteDuh, maaf banget baru balas, telat ya? soalnya saya nggak pake sistem notif, jad suka nggak ngeh kalau ada komen masuk.
Jujur aja Saya udah agak lupa, tapi seingat Saya terjemahan akta kelahiran dipakai waktu di Belanda, entah untuk proses apa, tapi pada saat di sana digunakan. Nah denger2, peraturan sekarang sudah berubah (kalau Saya nggak salah), kayaknya proses terjemahan ini sudah tidak diperlukan atau gimana. Kalau agak bingung, bisa tanya temen PPI Wageningen via FB (bisa di search).