Beberapa waktu yang lalu gw khatam baca Smartest Kids in the World byAmanda Ripley, dari judulnya ketauanlah buku ini ngebahas tentang gw
anak-anak terpintar di dunia dengan indikator tes PISA. Seru banget bacanya gw
sampe terharu. Hahahahaha. Meski agak nggak relevan sama Indonesia karena yang
dibandingkan sistem pendidikan negara-negara maju (bhayyyy Indonesia, sampai
jumpa milyaran puluhan tahun mendatang. Itu juga kalau udah maju), tapi
nggak apa-apa lah. Sekalian penasaran karena dulu gw pernah nemu artikel
tentang skor tes anak-anak di seluruh dunia vs happiness, hasilnya hasil tes
anak Indonesia paling memble tapi mereka paling happy. Salah satu kalimat yang
masih nempel sampai sekarang adalah ‘Indonesian kids don’t know how stupid they
are.’ Kurang ajar, sini ta’ tampar!! Tapi ya udahlah, emang bener *pasrah*
Negara yang dipilih oleh Ripley adalah Finlandia, Korea Selatan, Polandia,
dan Amerika. Finlandia sama Korea Selatan sih nggak usah ditanya yah, okelah
hasil tes PISA murid-muridnya. Polandia mungkin nggak sehebat negara maju
lainnya, tapi setelah komunisme runtuh, dalam kurun waktu yang nggak lama ada
reformasi yang signifikan dan bisa menghasilkan output yang bagus di sektor
pendidikan. Kalau Amerika sih karena jelas penulis dari Amerika, selain itu kan
judulnya negara super power dengan kampus Ivy League-nya, tapi kok tetep aja kalau
ngomongin pendidikan dasar dan menengah memble.
Selain riset sana-sini, wawancara expert sana-sini, Ripley pun menggunakan
siswa yang ikut pertukaran pelajar dengan sponsor AFS sebagai agen di setiap
negara. Setiap agen itu mewakili satu kota di setiap negara: Busan (Korea
Selatan), Pietarsaari (Finlandia), dan Wroclaw (Polandia).
Singkatnya, apa bedanya pendidikan di setiap negara tersebut?
Finlandia. Negara ini masih jadi yang nomor satu dalam urusan pendidikan
dasar dan menengah. Hal yang paling mendasar adalah kualitas guru mereka yang
luar biasa. Mungkin ini salah satu profesi yang seleksinya cukup sulit di
Finlandia. Proses seleksi sulit, trainingnya panjang, gajinya pun besar. Calon
guru ini harus masuk top universitas di sana. Semua calon guru wajib punya
gelar master. Setelah lulus pun, sampai akhirnya mereka bisa ngajar, mereka
harus melewati training yang lumayan panjang. Dari mulai masuk kelas dan
memperhatikan guru ngajar sampai mereka beneran ngajar dan siap dikritik sama
guru yang sesungguhnya.
Awal mula reformasi ini sekitar tahun 1970. Saat itu kurikulum masih
terpusat dan buku yang dipakai sekolah harus seragam, ditambah inspeksi rutin
ke sekolah-sekolah. Namun, mereka sadar di mana masa depan bangsa ada di
pendidikan yang bagus (hyeukk). Satu-satunya cara ya dengan punya guru dengan
kualitas mumpuni. Langkah awal yang dilakukan adaah meperketat seleksi untuk
jadi guru, menutup sekolah keguruan (yang kecil) dan memindahkan ke universitas
bagus. Era 80-an hasil mulai terlihat. Inspeksi udah nggak diperlukan. Guru
yang diseleksi dan ditraining secara ketat jadi punya kemampuan mumpuni.
Pemerintah pun percaya dan para guru ini diizinkan untuk menyusun kurikulum dan
text books untuk sekolah mereka masing-masing. Di era 90-an krisis terjadi.
Pemerintah motong dana pendidikan lumayan banyak. Tapi karena gurunya sudah
berkualitas dan well trusted, guru itulah yang menyesuaikan apa-apa yang
diperlukan sekolahnya. Guru sudah bagus, siswa lulusannya pun bagus. Robust
sampai sekarang.
Korea Selatan. Setelah perang dunia dan negara hancur-hanuran, mereka sadar
pendidikan dan generasi muda adalah kunci untuk ke depannya. Hal yang gw suka
dari mereka adalah prinsip yang meyakini anak pintar tuh nggak semata-mata diturunkan Tuhan dari
langit, semua hal –kalau mau- bisa dipelajari. Nah, karena kunci masa depan
cerah Korsel terletak di unversitas bergengsi, maka terjadilah perlombaan dan
tekanan buat siswa supaya bisa masuk ke top universitas di sana. Hakim-hakim
agung didominasi lulusan universitas tertentu, CEO terkemuka didominasi lulusan
universitas tertentu, etc., makanya tekanan siswa di sana tinggi banget untuk
bisa meraih prestasi akademis sebagus-bagusnya. Kalau lu ada di top 10% suatu
sekolah (sekolah ya, bukan suatu kelas), itu tuh nggak cukup. Sampai pernah ada
kasus anak nusuk ibunya sampai mati karena nggak berani terus terang bahwa si
anak super pinter ini pretasi akademisnya sedikit melorot.
Ini dia awa mula merebaknya Hagwon atau bimbel tersebut. Sekolah doang
dianggap kurang. Padahal anak SMA di sana sekolah sampai pukul 16.00, bebersih
kelas dan lanjut belajar di sekolah sampai sekitar pukul 21. Setelah itu apa pulang?
Tentu tidak, lanjut ke Hagwon sampai sekitar puku 23. Besokannya di sekolah,
anak-anak ini kebanyakan tidur di awal jam pelajaran. Tidur secara
terang-terangan. Gurunya gimana? Wes biasa! Guru udah paham dan membiarkan
mereka tidur. Saking kuatnya bisnis Hagwon ini, sampai-sampai sahamnya di
perdaganga di stock marketnya korea, gile kannnn. Salah satu guru Hagwon paling
mumpuni pun penghasilannya satu tahun pernah mencapai $ 4000000, itung tuh bisa
dapet berapa karung kalo dirupiahin. Untungnya menteri pendidikan sekarang mulai
sadar. Meskipun dia hasil didikan jaman dulu yang super ketat, dia sadar sistem
sepert ini nggak baik, dia pengen melakukan perubahan supaya sistem pendidikan
di negaranya bukan lagi pressure cooker.
Poandia. Kurang hitz ya bok di ranah pendidikan. Tapi Ripley memilih Polandia dengan alasan
yang baik. Adanya reformasi yang membawa perubahan cukup signifikan dalam
sistem pendidikan mereka. Setelah jatuh dari rezim komunis, terjadi perubahan
besar dalam pemerintahan Polandia. Mereka yang memegang posisi penting di pemerintahan
kebanyakan akademisi, begitu pula dengan menteri pendidikan pada saat itu,
seorang profesor kimia. Dalam waktu
kurang dari satu dekade, PISA skor anak-anak ini naik dari di bawah rata-rata
menjadi cukup tinggi dan dalam kurun waktu yang sama pula hasil tes anak US
tetap sama. Tahun 2009 hasil tes sains dan matematika di Polandia mengalahkan
anak di US, padahal uang yang di belanjakan pemerintah Polandia per siswa adalah
setengah dari US. Beberapa perubahan di lakukan oleh menteri pada saat itu,
tapi yang paling berpengaruh adalah penundaan sistem tracking. Pada usia
tertentu, murid-murid akan memilih akan melanjutkan sekolah seperti biasa atau
milih sekolah vokasional. Mereka yang memilih jalur vokasional, cenderung
kurang termotivasi. Ini pun masih menjadi PR, karena setelah melewati tes PISA
yang memberikan hasil baik, anak Polandia yang masuk jalur vokasional akan
kehilangan motivasi dan mengalami penurunan prestasi. Sehingga yang terjadi
adalah penundaan gap antara siswa sekolah dan siswa vokasional, bukan
penghilangan gap.
Amerika. Negara di mana Ripley berasal. Singkatnya, banyak pengeluaran
nggak penting. Sekolah di Amerika itu sangat mewah dan fancy. Laptop, Ipad,
layar besar, dan semua teknologi masa kini yang nggak penting-penting amat
untuk kegiatan belajar ada di sana. Pemilihan guru pun tidak ketat, siapapun
yang mau jadi guru, meskipun kemampuan nggak tinggi-tinggi amat tetap
diizinkan, sampai sekolah keguruan kebanyakan calon guru. Selain itu orientasi
mereka adalah olahraga, esp. football. Banyak guru laki-laki yang tujuan
utamanya bukan jadi guru tapi jadi football coach, ibaratnya, jadi guru adalah
cara supaya bisa jadi football coach, maka kualitas mengajar pun biasa saja. Selain
itu hal terakhir yang disoroti Ripley adalah keterlibatan orang tua yang nggak
penting. Orang tua sering banget dilibatkan dan rapat bersama guru (sering lah
ada di film holiwut) yang dibahas biasanya cara mengumpulkan dana untuk ngadain
kegiatan ekstra yang nggak penting dan nggak ada hubungannya sama akademis.
Namun hal seperti ini dianggap penting, jauh lebih penting daripada prestasi
yang bisa diraih anak di sekolah.
Nggak relevan sama Indonesia ya? Masih jauh banget buat sampai di sana.
Tapi ada hal yang bisa dilakukan orang tua kepada anaknya. Yang pertama adalah
bacain buku. Pernah denger quote Einstein yang bunyinya kurleb: If you want
your kids to be intelligent, read them fairytale if you want more, read more
fairytale.’ Bener lho ucapannya Einstein. Not fairytale in particular, tapi
bacakan anak apa aja (buku yang sesuai yaaaaa) karena ini bikin si anak mikir,
curious, dan pola pikirnya terasah. Hal yang berikutnya, dari kecil libatkan
anak dalam obrolan. Gitu cenah. Ya obrolan sehari-hari yang sesuai gitu. Entah
musisi terbaru, tarif angkot yang naik, misi sayentis ke mars, etc. Ini juga
mengasah logika dan critical thinking katanya. Meskipun balik lagi, kayaknya critical
thingking kurang dihargai ya di sini sama para pendidik, dianggapnya sok tau.
Pffftttt.
***
Overall, gw suka buku ini. Topiknya seru (menurut gw), risetnya Ripley juga
oke (dia terbang dari satu tempat ke tempat lain, mewawancara orang-orang yang
tepat, etc) dan yang pasti bahasaya mudah dipahami. Penting banget buat gw,
karena gw pernah baca buku yang topiknya seru banget (Gulp by Mary Roach) tapi
gw ngerasa bahasanya sulit buat dimengerti. Baca buku ini tuh ngalir aja, bukan
buku denga bahasa berat meskipun topik yang dibahas bukan topik ringan.
Akhir kata, ‘If you want American dream, go to Finland’ -Ed Miliband-
No comments:
Post a Comment