11 December 2014

Bahasa-bahasa

Habis baca postingan yang ini kemudian gw berkata pada diri sendiri,’Kita sepikiran nih Mba Ir.’ *sok ikrib, hyeuk!!* Pertama, soal Bahasa Indonesia yang ggak ribet. Bukan melulu masalah kata kerja yang selalu tetap dalam keadaan apapun (lampau kek, saat ini, atau gimana kek), tapi kata kerja pun nggak berubah siapapun subjeknya (mau dia kek, kamu, aku atau apa pun).

Mandi ya mandi. Aku mandi. Dia mandi. Nggak ada cerita jadi dia mandis. #yezkeleuz

Belum lagi Bahasa Indonesia nggak mengenal gender, maskulin, feminin atau neutral atau adjective yang berubah atau artikel yang berubah gara-gara bentuk kalimat atau verb berubah gara—gara beda pronouns.

Ich trinke, Sie trinken, Du trinkst, dsb.
atau
der Kaffee yang kemudian jadi Ich trinke den Kaffee.

Bahasa Indonesia juga nggak punya kebiasaan nyambung-nyambungin kata.

dua, tiga puluh, lima tiga ratus dua belas. Zwei, dreizig, dreihundertzwolf.

Ini bahasa ngeselin amat sik!!! *pukul-pukul dada Michael Fassbender*

Tapi ketika kita kesel karena ada bahasa bergender feminin, maskulin, atau netral, ingatlah masih ada bahasa lain yang lebih ribet. Salah satu artikel yang ditunjukkin temen gw mengatakan bahwa bahasa paling sulit adalah Polish. Gw kira bakalan Finnish atau Chinese. Yakali aksara Cina banyaknya kayak apa, belum lagi kalau beda nada (naik turun, panjang pendek) bisa beda arti *tepuk tanga untuk Mark Zuckerberg*. Ternyata bahasa Polandia ini dikatakan punya 16 gender. Iya, enam belas. ENAM BELAS!!! Kalau rata-rata native english speaker mastering their language at age 12, rata-rata untuk Polish adalah 16 tahun, fyuh...

Nah, tapi di balik Bahasa Indonesia yang tampak nggak ribet, benar sekali bahwasannya kita pun punya bahasa daerah yang pronouns dan verb nya berbeda tergantung dengan siapa kita bicara. Belum lagi ada logat tersendiri untuk satu bahasa daerah tertentu, ya Bahasa Jawa orang Jogja kan beda karo Wong Tegal. Begitu pun dengan Bahasa Sunda. Gw yang lahir dan besar di daerah Sunda pun sampai sekarang sering kikuk kalau diajak ngomong Bahasa Sunda sama orang yang lebih tua, takut keluar kata-kata cem ‘urang, dahar, maneh, dll,’ jadi kalau pun ditanya pake Bahasa Sunda, gw hampir pasti timpali dengan Bahasa Indonesia. Begitupun dengan Bahasa Jawa, diajak ngomong Jawa ya gw timpali pake Bahasa Indonesia, bukan karena kikuk takut salah, tapi gw emang ga bisa Bahasa Jawa, cuma ngerti aja kalu ada yang ngomong...mihihihihihi

Meskipun kita punya banyak bahasa daerah yang ribet abis dan jumlahnya banyak, ada bahasa lain yang lebih bikin pusing. The one and only: Bahasa G4UL. Bayangin dong, bahasa yang udah simpel dibiken ribet gara-gara bahasa G4UL alias bahasa bencong *tapi gw demen banget pake :)))))*. Inget kan jaman baheula diawali dari D3bby Sahert1an yang bikin kamus G4UL, ribet minta ampun. Kalimat sesimpel: Aku lapar mau makan bisa berubah jadi Akika lapangan bola mawar makarena. Gusti nu agungggg!! Tapi kampretnya, bahasa kayak gini tuh malah nempel, terngiang-ngiang dan akhirnya jadi sering dipake...ZZzzzZZzzzz

Selain bahasa bencong, gw pun ngalamin bahasa sisipan. Di mana setiap suku kata dikasih sisipan. Waktu gw masih SMA, sisipan paling heitz adalah ‘in.’ Ibarat mau ngomong ‘Aku lapar mau makan,’ bakal berubah jadi ‘Inakinu linapinar minainu minakinan.’ Apa? ribet? Ah, payah kalian!! Ini adalah bentuk sisipan tergampang dan terpasaran. Biasalah, bahasa cem gini sengaja diciptakan dengan harapan bisa ngomongin seseorang langsung di depannya, dengan asumsi orang tersebut ga bisa bahasa ‘in.’ Tapi kejadian kampret pernah dialami temen gw. Waktu itu masih SMA dan kebetulan karena gw ikut ekskul angklung, jadi sering ada penampilan. Waktu itu sedang ada penampilan dan ada orang lain yang juga jadi pengisi acara selain tim angklung kita, kemudian terjadilah:

Temen gue: Eh, liniinat dineh, inorinang initinu binajinunyina kinayinak ginordinen (eh, liat deh orang itu bajunya kayak gorden
Orang yang digunjingkan: *lewat di depan temen gw* pinuntineun...pinuntineun (punteun...punteun)

Syahitan!!! Dia bisa bahasa ‘in!!!!’

Kemudian zaman kuliah. Bahasa ‘in,’ digantikan oleh bahasa ‘or.’ Rumusnya masih sama, dengan cara nyisipin di setiap suku kata. Masalahnya, bahasa ‘or,’ ini lebih susah nek!!! Mbuhlah, tapi  pokonya lebih susah. Untung kecerdasan gw menyangkut hal nggak penting kayak gini lumayan oke, akhirnya jago juga. Tapi saking seringnya ngomong pake bahasa ‘or,’ akhirnya anak-anak jurusan pun jadi pada bisa, bbbzzztttt


Rasanya pengen bisa bahasa baru. Bahasa beneran, bukan bahasa G4UL ora jelas. Ya, paling enggak bisa satu bahasa asing selain Inggris. Satu aja nggak usah ngarep banyak-banyak kayak kakaknya R.A. Kartini bisa 20 lebih bahasa asing. Semangat 2015!!!! *pencitraan*

No comments:

Post a Comment